Haji Samaun memasuki langgar yang telah diisi oleh belasan lelaki yang menyenderkan punggung di dinding tepas. Kartolo, sang muazin, menghentikan kegiatannya menggaruk-garuk punggung. Dia takut melihat mata Haji Samaun. Pasti lelaki itu masih memendam amarah karena memergoki Kartolo mendekati Lena sepulang shalat isya semalam. Lena adalah putri sulung Haji Samaun. Perempuan itu baru mudik setelah hampir setahun berkutat di pesantren. Dia berwajah cantik. Pakaiannya selalu modis. Matanya berkaca-kaca pabila bersirobok dengan tatap setiap lelaki. Tapi dia langsung berpaling, kecuali bersitatap dengan Kartolo yang memang disukainya sejak kecil. Disukai, tapi entah sekarang dicintai tak tahu pasti.
Kartolo belum sempat menusukkan sengatnya, ketika Haji Samaun langsung menghardik. Dia menyuruh Lena pulang. Kartolo terpaksa mengekor sang haji, demi mempersiapkan rapat dadakan besok malamnya. Dan itu adalah malam ini.
Tapi Haji Samaun tak menunjukkan antipati. Dia duduk di sebelah Haji Pardosi tanpa sedikit pun menyinggung-nyinggung kejadian tadi malam. Setelah semuanya berdeham-dehem, seolah sedang terkena batuk kronis, Haji Samaun mematikan rokok daun nipahnya. Yang lain mengikut, termasuk Kartolo. Dia tengah asyik meresapi rokok putih oleh-oleh Pak Lubai, tauke karet di kampung itu. Lelaki itu baru kemarin pulang dari Jakarta. Dia menemui putrinya yang disebut-sebut orang penggatal. Entah kenapa begitu. Padahal Kartolo dan anak-anak muda lainnya, senang menontonnya menyanyikan lagu dangdut di televisi milik kepala kampung. Suaranya merdu, goyangnya yahud. Mungkin mereka seringkali mengingat saat-saat perempuan itu menjadi petembang kampung di acara tujuhbelasan. Namun keinginannya menanggap dangdutan di acara-acara lain, tak disetuji warga. Goyangannya mengotori mata, juga memabukkan kampung. Itulah maka dia minggat ke Jakarta dan menjadi tenar.
"Baiklah, bagaimana Ansyori, mengenai dana pemugaran langgar ini untuk dijadikan masjid, sudah dirancang? Atau ada ide dari bapak-bapak agar rencana kita berjalan sukses?"
Haji Pardosi mendehem, lalu berbicara hati-hati. "Sebetulnya sudah ada yang berniat turut membantu rencana kita. Mereka adalah kelompok pengajian Bapak Thalubi. Tapi saya terlebih dulu meminta tanggapan bapak-bapak sekalian."
Lelaki berjambang, dan memakai gamis yang sangat longgar, berkomentar, "Saya kurang setuju. Kita kan tak sefaham dengan mereka. Setiap kali acara tahlilan, mereka selalu tak datang. Mereka menganggap itu bukan Sunnah Nabi. Lebaran-lebaran tahun kemarin, mereka juga berseberangan. Saya tak ingin mereka ikut-ikutan shalat di tempat ini. Bisa-bisa shalat tarawih dikurangi rakaatnya."
"Tapi mereka kan tetap seagama dengan kita." Haji Samaun menanggapi. "Faham itu banyak ragamnya. Asal masih mengimani Allah SWT sebagai Tuhan mereka, serta Nabi Muhammad sebagai junjungan, saya rasa tak masalah. Lagipula mereka juga shalat, puasa dan membayar zakat. Intinya Rukun Iman dan Islam tiada dilanggar. Apa salahnya? Yang salah hanyalah mereka yang bengal dan tak mau menjalankan perintah Allah."
"Mungkin kami yang di sini bisa saja setuju. Tapi bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Kelak mereka pasti enggan menjejakkan kaki ke tempat ini." Tak sadar, Kartolo menimpali. Haji Samaun mendelik seperti hendak menelan lelaki itu mentah-mentah.
"Benar juga kata Dek Kartolo." Lelaki berjambang itu senang pendapatnya didukung Kartolo. Dia mengedip sekali, sementara Kartolo pura-pura menundukkan wajah. Dia takut telah menegah maksud Haji Samaun, yang tentu bisa membangunkan macan tidur. Kejadian semalam bisa diungkit-ungkitnya lagi.
"Sudahlah! Tak usah memperdebatkan yang tak berguna. Coba, ada inisiatif lain?" Haji Pardosi menengahi.
"Saya ada inisiatif. Inisiatif ini berasal dari orang yang sangat ingin membantu pembangunan masjid kita," ucap Kartolo bersemangat. Dia harus mengungkapkan ide-idenya kalau tak ingin rejekinya terputus di tengah jalan. Bisa tak mencicip rokok putih lagi dia. "Tadi pagi Pak Lubai mengatakan berniat membantu setengah dari biaya pembangunan masjid ini."