Lihat ke Halaman Asli

Kotanopan Kala Itu

Diperbarui: 30 Maret 2019   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : www.bayosuti.blogspot.com

Kami kelelahan setelah menggelinding dari Simandolam  yang berdiri di punuk bukit barisan itu. Tadi, sebelum turun, sebentar kami berdiri di depan rumah kepala desa. Kotanopan serupa kuali di bawah sana. Sungai Batang Gadis menjelma ular, meliuk-liuk menerjang tebing-tebing, berjalan menuju muara yang kami tak tahu berada di mana. 

Perjalanan melelahkan! Apalagi harus menggelinding di jalanan licin selepas hujan  deras, ditingkah nyanyi lutung bersahut-sahutan. Sekali-dua bertemu babi yang menerbas rumpun-rumpun. Sekali-dua melihat serombongan monyet menyeberang jalan di pucuk-pucuk pohon yang dahannya saling menjalin. Tapi harimau tak sedetik melintas. Harapan kami pun tiada melihatnya. Melihatnya sama saja bertaruh dengan kematian.

Baca Juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5c9cebe0971594490c6364a2/partokariun-dan-cerita-ceritanya-i

Bari lebih dulu memasuki kamar mandi di pasanggrahan. Telapak kakinya tebal oleh lumpur. Disusul Matdirin yang sengau dengan nyanyinya. Barulah Bokor. Buru-buru mandi serupa burung layang-layang. 

Kutemukan setitik lumpur menempel di dalam daun telinganya, pertanda dia tak mandi bersih-bersih. Dingin katanya, karena di luar memang gerimis tiba lagi. Menghentak pohon raksasa, mahoni yang berdiri jejal di halaman depan dan samping pasanggrahan. Biji-biji mahoni beterbangan serupa baling-baling helikopter. Melayang ke halaman pasanggarahan, dan sebagian jauh mengangkasa, lalu jatuh di halaman rumah-rumah penduduk beratap seng berwarna coklat pekat.

"Kau belum mandi, Karim?" Bokor duduk di sebelahku. Dia telah memesan secangkir kopi panas yang dibawanya dengan tangan bergetar. Setangkup roti isi selai nanas, dihidangkannya di atas meja. 

Aku mengerling. Lapar menjilatku. Tapi taklah enak meminta kepada Bokor yang pelit. Lebih baik aku menyuruh pelayan menyeduh mie instan. Tentu enak menyeruput kuahnya sembari diteman teh hambar yang sangat panas.

"Belum! Aku mau menyelesaikan catatanku ini." Mataku melotot melihat buku yang sudah menguning di pangkuanku. Sengaja aku serius, sekedar menghindari godaan setangkup roti dan aroma kopi kampung yang menyengat itu.

Aku, Bari, Matdirin dan Bokor memang sengaja datang ke kota kecil ini. Sekedar melihat kesibukannya dan membuat catatan dalam buku kisah perjalanan kami. Kota ini cukup menarik. Masih sangat asri. Rumah-rumah tua berdiri kokoh dengan cat memudar khas kolonial Belanda. 

Sebuah gereja satu-satunya, berdiri sekitar setengah kilometer dari pasanggarahan. Jalanan masih diaspal kasar. Berbatu-batu. Tapi sangat indah dengan di kiri kanannya dirimbuni pepohon atau bunga-bunga kertas yang lagi bersemi. Suara Sungai Batang Gadis juga terdengar halus. Meriap menerpa-nerpa tebing di belakang rumah-rumah panggung penduduk.

Gedung-gedung tempat berjualan yang memanjang di kiri-kanan jalan di pasar kota kecil ini, pun masih menunjukkan suasana kolinial. Sebuah sekolah panggung berdiri sekitar seratus meter dari pasanggarahan. Juga ada balai desa yang dipayung mahoni meraksasa. Sebuah tugu pahlawan menonjok langit di halaman kantor camat. Sama dengan bangunan-bangunan lain, bergaya kolonial. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline