Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Terjebak Pengangguran

Diperbarui: 28 Maret 2019   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah pernikahanku dengan Midah (nama samaran) menginjak tahun kedelapan, berbagai sikap istriku itu mulai membuatku sakit hati dan terhina. Cara bicaranya selalu ketus. Bahkan perdebatan-perdebatan kecil, kerap disikapinya dengan sangat serius. Artinya, dia selalu memperuncing masalah, seolah ingin membuat perdebatan itu menjadi sangat hebat. Bahkan tak ayal dia mempertaruhkan pintu untuk dibanting, panci untuk dihempaskan sebagai pembuktian emosi. Belum lagi sikapnya ditunjukkan di depan anak-anak. Seolah diri ini dipecundanginya.

Memang sebelum kami menikah, dia seorang perempuan baik hati yang bisa membuatku berbunga-bunga. Dia penurut dan sama sekali tak mempermasalahkan keluargaku yang miskin. Tak pula dia merasa sombong karena berasal dari keluarga terpandang dan kaya.

Begitu kami menikah, lalu tinggal di rumah mertua, kasih sayangnya tetap penuh. Dia juga menjadi istri sholehah, yang tak hanya mementingkan ibadahnya sendiri, melainkan sekaligus mengajakku agar menjadi hamba yang taat.

Kala aku mulai berpenghasilan lumayan, kami mengontrak rumah di bilangan pinggiran kota. Selain sewanya murah, tentu saja jauh dari kesan sumpek, kumuh dan ramai. Kami menata hidup dengan apik. Mengasuh anak-anak dengan penuh kasih sayang.

Selayaknya suami-istri yang langgeng, kami menjadi puji-pujian warga sekitar. Menjadi contoh sepasang insan yang paling damai, dan mampu menyelesaikan intrik dengan kepala dingin. Aku terkadang berpikir, istrikulah paling hebat sedunia. Entah dia berpikiran yang sama denganku, aku tak ingin mencari tahu. Perhatiannya yang berlebih, sesungguhnya tak membutuhkan pertanyaan. Aku telah membacanya baik dari yang tersurat hingga yang tersirat.

Tapi apakah setiap kelanggengan memiliki keabadian? Segala yang baharu pasti mengalami perubahan. Tak ada yang kekal. Juga masalah pekerjaan dan penghasilan berlebih. Goncangan ekonomi yang selalu berulang melanda dunia, pada akhirnya membuat perusahaan tempatku bekerja goyah. Pihak perusahaan memberikan dua pilihan kepadaku, mengundurkan diri, atau tetap bekerja dengan penghasilan yang minim.

Setelah kupikir-pikir bahwa penghasilan minim sangat tak sepadan dibandingkan dengan biaya hidup sehari-hari, aku memutuskan mengundurkan diri dan mencoba berbisnis sendiri. Untuk memperoleh pekerjaan baru, sangat jauh panggang dari api. Selain banyak orang-orang bertitel dan berpengalaman kerja sebagai pesaingku mencari lowongan kerja, toh umur yang sudah terlalu dewasa pasti akan mementahkan lamaran kerjaku. Bagaimanapun pihak perusahaan menginginkan orang-orang muda yang enerjik.

Aku kemudian mulai berbisnis kecil-kecilan. Bisnis pertama yang hanya bertahan beberapa bulan, kemudian diganti bisnis lain, juga tak bisa bertahan lama. Seperti itulah yang selalu kuhadapi, hingga terkadang aku stagnan. Ibarat orang bodoh yang tak bisa mencari penghidupan buat keluarga.

Alhasil Midah ikut campur tangan. Dia yang sebelumnya hanya mengurusi dapur dan rutinitas rumah tangga, kembali menekuni hobby yang dilakoninya semasa kuliah. Apalagi kalau tak jauh-jauh dari kompor gas, oven, tepung. Ya, dia itu senang dan jago membuat kue-kue kering mau pun basah.

Awalnya aku memerotesnya sibuk dengan urusan masak-memasak itu. Aku takut anak-anak dibengkalaikan. Tapi mendengar jawabannya tentang biaya hidup sehari-hari yang harus kami penuhi, akhirnya aku hanya membisu, dan membiarkan ide-idenya mengalir lancar menjadi berbagai kue yang menarik menggoda selera.

Aku seolah mendapat penopang hidup. Bisnisku yang selalu kandas di tengah jalan, membuat si malang ini berharap banyak kepada Midah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline