Dengan mata membola, aku sampai di kampung itu. Hujan tetap rapat dan masing-masing penumpang juga setia merapat ke tubuh orang disebelahnya agar hangat berserah. Teriakan sopir bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan, membuat semua penumpang sigap bergerak. Meraih tas dari bagasi di atas kepala. Menarik kardus dan bermacam oleh-oleh dari bawah jok.
Aku diam sejenak. Menikmati dingin pipi menempel di kaca jendela bis. Aku menggores jari tangan di kaca itu "Palupi", lalu tersenyum entah untuk siapa. Lelaki tua di sebelahku berdecak, menggeleng, lalu berlalu seakan menganggap aku gila.
Jam tangan menunjukkan pukul satu dini hari ketika aku turun dari bis. Sebentar kularikan perut ke warung pinggir jalan, demi menikmati mie rebus serta secangkir kopi panas tanpa gula. Seseorang yang tertidur di kursi panjang, tergeragap. Dia bergegas menanyakan apa yang hendak kubeli. Kukatakan segelas kopi tanpa gula dan mie rebus. Dia kemudian menuangkan air mendidih ke cangkir yang sudah berisi kopi. Ketika memasak mie rebus, dia menanyakan aku mau ke mana.
Aku mengatakan akan ke Jalan Pakcik Amat. Dia mendelik. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia duduk memepet tubuhku, hingga napasnya yang mengepul hangat, menerpa wajah. Dari dialah aku tahu kalau Jalan Pakcik Amat itu menakutkan. Apalagi kalau sudah malam. Apalagi dalam kondisi hujan. Dari cerita dari mulut ke mulut, dia mengatakan orang sering melihat perempuan berambut panjang, berjaket dan berpayung hitam, tak jauh dari pohon beringin yang menyemak.
Apabila perempuan itu tak diperdulikan, tak akan ada yang terjadi. Namun, ketika orang yang bertemu perempuan itu mau diajak mengobrol olehnya, maka kontan besok paginya orang itu akan hilang ingatan, atau lebih parah mati dengan arwah penasaran.
"Airnya sudah mendidih, masukkanlah mie rebusnya," selaku, hingga membuat dia tersadar. Terburu-buru dia membuka bungkus mie instan berikut bumbu-bumbu. Dia aduk aduk mie instan semenit-dua. Kemudian dia menuang mie rebus ke dalam mangkok, mendorongnya ke hadapanku. Hmm, mie rebus itu belum matang betul. Jadilah sekadar pengganjal perut lapar.
"Kapan kejadiannya itu?" Aku pura-pura serius mendengar ceritanya.
"Maksudmu?" Dia menatapku bingung.
"Kejadian orang bertemu perempuan aneh itu, kemudian menemukan korban sudah gila atau mati keesokan harinya."
Dia tersenyum tersipu. "Aku tak tahu itu kapan. Hanya cerita yang kudapat."
"Oh!" Aku bergegas menghabiskan mie rebus, menandaskan kopi hingga dedak, lalu uang didompetku bepindahtangan. Ketika dia menanyakan uang kembalian, aku mengibaskan tangan. Tak kupedulikan dia mengucapkan terima kasih berkali-kali.