Lihat ke Halaman Asli

Nujuh Bulan

Diperbarui: 11 Maret 2019   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Aku merasa sangat bahagia melihat kandungan istriku sudah berusia tujuh bulan. Oleh karena itu, sebagai wujud tanda syukur, sekaligus ingin bermohon agar istri dan jabang bayinya sehat-selamat, maka seperti tradisi rutin di keluargaku, selalu dirayakan dengan acara nujuh bulan. Ya, dengan mengundang beberapa sanak serta ibu-ibu tetangga dekat. Mungkin sekitar tigapuluhan oranglah. Tak lebih! Sebab dana yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari, hanya cukup menjamu tigapuluhan orang. Dengan makanan seadanya; tekwan atau model, rujak dan pempek. 

Istriku tak kalah bahagianya. Malahan dia seperti berjibaku menyambut acara nujuh bulan itu. Hingga  terpaksa kuwanti-wanti jangan sampai terlalu capek. Dua minggu lalu, dia telah kelelahan membantu persiapan pernikahan adik bungsuku. Kalau ditambah dengan berjibaku menyambut nujuh bulan, sudah barang tentu capeknya dobel. Tapi dasar, demi kesuksesan, rasa lelah ditahankannya. Tak perduli juga dia pada ocehan Mak yang berulang-ulang menyuruh istirahat.

"Ah, cuma membantu mengupas dan mengiris-iris bawang, apa susahnya, Mak!" Dia berkilah.

"Ya, asal jangan kau ikut-ikutan mengangkat yang berat-berat. Kau sebaiknya istirahat saja." Mak masih tak selesai dengan repetannya sambil mengaron nasi.

"Tak enak Mak. Masa' pemilik acara santai-santai saja. Apa kata orang-orang?" Biasanya Mak tak lagi bermulut panjang. Dia beranjak ke dapur mengambil dandang. Sepertinya aronan nasi sudah setengah masak. 

Kondisi istriku yang barangkali kecapekan, tak kuhiraukan lagi. Segala tetek-bengek demi kelancaran acara, telah menyita seluruh perhatianku. Dari meminjam tikar ke tetangga sebelah, sebab tikar kami banyak yang lapuk. Dari meminjam gelas-piring, sebab di rumah sudah banyak diantaranya yang gompel. Belum lagi rencana membeli ikan, tepung, buah-buahan, untuk membuat tekwan, pempek dan rujak. Wah, rasanya pusing tujuh keliling. Aku berulang-ulang menghitung persediaan uang yang pasti terus berkurang, tapi tak mungkin bertambah. 

Ah, hanya satu harapan, uang simpananku cukup untuk mendanai seluruh biaya acara nujuh bulan. Sempat kurang, aku pasti kelabakan. Meminjam dengan Mak atau Bak, sama saja bagaikan menggali sumur di batu padas. Sampai tangan keras dan pecah-pecah, tak ada harapan munculnya mata air.

Ketika tengah asyik memindah-mindahkan meja dari ruang depan ke kamar belakang, tiba-tiba Mak setengah menjerit memanggilku. "Dalian, cepatlah dulu ke mari! Istrimu kenapa?"

Aku bergegas menuju kamar. Kulihat Mak mengurut-urut kaki istriku yang tengah meringis-ringis mengelus perutnya. "Kenapa, Salmiah? Kau sakit perut? Itulah, sudah kukatakan jangan terlalu lahap memakan mangga muda. Ingat, maagmu bisa kambuh. Ah, kau ini ada-ada saja."

"Aku tak makan mangga muda, Bang. Tanya Mak, sejak pagi, selain teh manis, tak ada minuman dan makanan lain masuk ke perut ini."

"Lalu, bagaimana bisa?" Salmiah, istriku tak menjawab. Ringisannya bertambah keras. Malahan dia sampai menggeliat-geliat. Wak Raskiah, kakak perempuan Mak, seketika ikut nimbrung. Dia terkejut melihat Salmiah meringis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline