Lihat ke Halaman Asli

Seratus Ribu Rupiah

Diperbarui: 11 Maret 2019   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Hampir-hampir aku melupakan Warsito dan uang pemberianku kepadanya yang seratus ribu rupiah itu. Aku menganggapnya masa lalu. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Aku ikhlas. Saat itu Warsito amat sangat membutuhkannya. Dia akan pulang kampung menjenguk ayahnya yang sakit keras. Kemudian, hingga sekarang dia tak pulang lagi ke kota ini. Lalu apa masalahnya jika dia pulang atau tidak? 

"Bapak ini enak saja. Kita orang sengsara. Berapa sih uang yang terkumpul dari menarik becak?" Mata Maisaroh, istriku hampir melompat dari cangkangnya. Dia inilah yang selalu mengungkit-ungkit tentang uang seratus ribu rupiah itu, ketika perekonomian kami paceklik.

"Apalah arti seratus ribu dibandingkan kebutuhan yang amat sangat penting bagi Warsito," kilahku. Buru-buru kucuci tangan setelah selesai mencuci becakku. Setelah itu kuhirup kopi yang masih mengebul. Panas seperti ucapan Maisaroh yang membuat telingaku berdenging.

"Apalah arti uang seratus ribu, Pak? Tolong bapak pikirkan, kalau tabungan kita yang sedikit itu masih ada, hari ini Bapak tak perlu meminum kopi pahit. Aku bisa membayar hutang beras di kedai sampah Wak Jumhur, meski tak sampai melunasinya. Itulah!  Bapak selalu dan terlalu baik kepada orang. Padahal orang tak pernah berniat baik kepada Bapak."

Dia juga mengingatkanku kepada Ruhul. Lelaki bujangan yang usianya hampir sepuluh tahun di bawahku itu, pernah kutolong ketika akan dipalak anak-anak Gang Sawo. Kuingat jelas Ruhul baru datang ke kota ini demi mengais rejeki setelah dia tamat SMA di negeri seberang; Jawa Barat. Setelah mengatakan bahwa dia adalah kemenakanku, pemalak itu mengurungkan niat jahat mereka. Mereka segan kepadaku, karena sekali waktu aku pernah memukul bocor bibir preman wahid Pasar Sawo. 

Tapi memang Ruhul membalas susu yang kuberikan dengan tuba. Empat tahun kemudian, saat ada razia becak di jalan protokol kota Palembang, Ruhul yang sudah menjadi polisi pamong raja, ikut menggaruk becakku. Dia bersama rekan-rekannya menjebloskan "napas keluargaku" itu ke dalam truk bak kayu.

Aku sempat memohon dengan tatapan sedih. Tapi Ruhul membuang wajah. Dia segera menghilang di rerimbun orang. Tapi aku yakin, berat baginya membelaku. Membelaku---misalnya dengan tak merazia becakku---sama saja dia menggulingkan periuk nasinya sendiri. 

Dan sekarang ocehan-ocehan tentang Warsito, setelah hampir lima tahun terlampaui, masih diputar kembali oleh Maisaroh. Terbuat dari apakah hati istriku ini? Andaikan dulu aku tak memberikan uang seratus ribu rupiah itu kepada Warsito, apakah uang tersebut masih utuh sampai sekarang? 

Ah, ada-ada saja! Istriku sedang panas saja hatinya. Maka kutinggalkan dia dengan pikiran berhalimun. Aku mendayung becakku membelah udara petang Palembang yang dingin. Secubit sisa pempek lenjer yang kukantongi, akhirnya bisa sedikit mengganjal lapar.

Seorang perempuan bertubuh tong, akhirnya membuka rejekiku senja ini. Dia penumpang berwajah manis. Matanya terang. Harapku dia royal seperti tubuhnya yang melar. Aku paling tak enak hati ketika bersusah-payah membawa penumpang super gede seperti dia, harus menerima kekecewaan, karena dia medit bin kedekut. Tapi ya, inilah namanya kehidupan. Inilah kondisi yang harus kuhadapi setiap hari sebagai rakyat kelas bawah. Rakyat yang hanya dijadikan sandal jepit bagi orang-orang kaya.

Benar saja, saat tubuh tong itu duduk di jok becak, langsung ngek napasku. Urat-urat di lenganku yang ringkih bertonjolan. Seraya mengawali dengan ucapan basmallah, akhirnya perlahan roda becak berjalan kriat-kriot. Perempuan itu sibuk dengan ponselnya, kemudian susah-payah menoleh ke arahku sambil mengatakan nama jalan, tujuannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline