Lihat ke Halaman Asli

Gang Becek

Diperbarui: 10 Maret 2019   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Gang becek itu selalu menjadi wilayah kekuasaan yang harus kami pertarungkan ketika malam benar-benar gelap. Setelah aku menelan dua-tiga butir Rohipnol, mengantongi lintingan cimeng, dan beceng terselip di pinggang. 

Sementara dia, juga telah menghabiskan berbotol Topi Miring yang diambil paksa di toko Tionghoa.  Dan kami akan bertarung mati-matian menguasai wilayah basah itu. Bergulingan di tanah yang tak pernah kering dan selalu berbau. Di mana bangunan tinggi-tinggi berterali sebesar jempol, mencekik gang itu. Di mana Tionghoa dan sedikit India kaya, ketakutan di dalamnya, lalu buru-buru menanggalkan perbincangan di teras. Mengunci pintu dan jendela. Meski kami tahu, mereka masih mengintip di setiap sela.

Pertarungan kami selalu berakhir dengan kelelahan dengan masing-masing terluka. Tapi ini hanyalah suatu cara menunjukkan kejantanan dan preman paling berkuasa. Yang kami perebutkan adalah sisa-sisa makanan yang terbuang begitu saja di pinggir-pinggir gang tanpa tempat sampah. Tanpa selokan, sehingga setiap pembuangan kamar mandi dan cucian piring, selalu bermuara ke badan gang. Hingga gang itu tak pernah kering, meski panas menyengat. Hingga dia benar-benar ditabalkan dengan nama gang becek.

Seperti malam ini, seusai pesta miras di hajatan Juragan Lapak, aku dan dia berusaha supaya lebih dulu tiba di gang becek. Kami melepaskan lelah, sambil meluruskan punggung di dinding-dinding rumah tanpa acian. Dengan sisa-sisa semen yang mengeras sebagai penyambung setiap bata. Sampai ujungnya terasa melukai punggung yang telanjang. Sampai rasa sakit mengalahkan rasa mabok.

Dan mata kami saling awas. Serupa dua babi yang siap saling serang. Mulut berliur bak orang sakit ayan. Tapi malam ini, hanya geram-geraman kami tunjukkan. Lalu tubuh terduduk di tanah becek. Beringust-ingsut, sampai duduk kami mendekat.

"Aku tak mau bertarung malam ini," katanya.

"Aku juga!" jawabku. "Aku bosan mempertaruhkan sesuatu yang sampah. Seperti menunjukkan kita sebenar-benar pecundang. Memperebutkan sisa makanan dan kencing orang-orang kaya." Aku mendongak menatap angkasa tanpa cahaya. Bulan tertutup awan gelap, pertanda hujan akan tiba.

"Ya, kita telah berlaku terlalu bodoh. Peraturangan demi pertarungan kita yang membuat suasana ricuh menakutkan setiap orang, tanpa sadar telah menyelamatkan harta orang-orang kaya yang tak tahu untung itu." Aku menarik napas panjang. Kuangsurkan sebatang sigaret kepadanya. Perbuatan pertamaku yang terbaik baginya. Dan mudah-mudahan bukan perbuatan terakhir.

"Aku juga memikirkannya, Kawan. Betapa mereka aman atas keterjagaan kita. Mereka menjadi tak perlu menyewa petugas penjaga malam. Mereka terbantu oleh kehadiran kita, tanpa imbalan sedikit pun. Sebab setiap makanan yang kita perebutkan di sini, adalah sisa-sisa mereka. Kalau pun kita tak melantaknya, pasti remah-remah itu akan mubazir juga. Paling tidak menjadi santapan anjing dan tikus."

"Lalu, menurutmu bagaimana?" tanyaku.

"Kita harus meminta upeti setiap harinya, atas keterjagaan ini. Kalau tidak..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline