Lihat ke Halaman Asli

Paku

Diperbarui: 8 Maret 2019   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Paku yang tertancap di sebilah papan itu, menantang di tengah gang dengan ujungnya meninju langit. Aku sempat terkesiap dan berusaha menghindar. Beruntung sepeda kumbang yang masih kutuntun, tidak melindasnya. Kalau tidak, ada beberapa kejadian buruk bakal menimpaku. Pertama, aku pasti terlambat masuk kerja di perusahaan karet itu. Kedua, aku diberikan surat peringatan kedua oleh kepala personalia karena terlambat masuk kerja untuk yang kedua kali. Ketiga, aku harus merogoh kocek dalam-dalam demi memperoleh jasa tukang tambal di pangkal gang. Tentu paling tidak butuh limaribuan terbuang percuma. Kalau ban dalam sepedaku sudah kronis, bisa-bisa membeli ban dalam baru. Itu butuh duapuluh atau duapuluh lima ribuan, sehingga aku siap-siap puasa merokok selama seminggu.

Ah, beruntung Tuhan masih melindungiku, sehingga kutinggalkan paku sialan itu di tengah gang. 

Namun belum saja sepeda kumbang kunaiki di pangkal gang, mendadak nuraniku protes. Kenapa aku tak buru-buru membuang benda sialan itu. Nanti, terkena ban sepeda atau motor orang, kan kasihan! Terkena kaki, bisa keluar biaya banyak. Harus masuk rumah sakit untuk disuntik tetanus. 

Tapi aku ach, aku toh sedang buru-buru? Dengan membuang paku itu ke tempat sampah atau got, membutuhkan waktu sekian detik. Itu artinya aku terlambat sekian detik pula sampai di pabrik. Hasil yang kuterima jelas sekali, surat peringatan kedua.

* * *

Ingatanku tentang paku itu sama sekali terkikis. Aku telah disibukkan memilah-milah karet mentah yang bagus dan bertekstur jelek. Memasukkannya ke mesin, lalu melihat hasil, kemudian menjemurnya. Waktu sekian jam, pun berlalu tanpa terasa. Memang kesibukan selalu membuat guliran jam berlari cepat. Berbeda dengan sekian bulan lalu, saat aku menganggur. Aku selalu menyiapkan telinga menerima teror istri dengan biaya-biaya rumahtangga yang membengkak. Juga, masalah modalnya membuat kue yang selalu seret. Kala itu, dialah yang menopang kehidupan kami anak-beranak. Dan di situlah aku sangat membenci jam yang seolah berjalan sangat lambat.

Setelah mencuci tangan dengan deterjen, aku bergegas ke kantin. Masih tetap tercium bau karet, memang. Tapi ini adalah resiko berkubang dengan barang kenyal itu. Jangankan tangan, tubuh juga busuk bukan main. Meskipun mandi berlamurkan sekiloan biang parfum, pastilah aroma karet masih terasa. Namun, sudahlah! Orang-orang di sekelilingku sudah kapalan. Hidung mereka membadak karena setiap hari membaui aroma tak sedap itu.

Hmm, apakah aku lapar sangat? Tidak! Tidak! Tadi, istriku telah menghidangkan sepinggan nasi gemuk demi mengganjal perut ini. Ketergesaanku hanyalah ingin mengopi seraya mencomot pisang goreng. Tentu sambil memperhatikan Sakinah, pelayan baru di kantin, yang tak lain sepupu Lateni, sang pemilik kantin.

Sakinah baru seminggu bekerja. Namun namanya sudah lebih terkenal dari bos perusahaan yang karyawannya rata-rata laki-laki itu. Jadi, punahlah rasa tak enak dari makanan kantin Lateni. Dulunya lalat saja enggan hinggap di situ, kini sama sekali menyemut. Dari yang lajang ting-ting, sampai tua bangkotan bernapas ngos-ngosan, rela mengantri bergerombol. Itulah yang membuat senyum Lateni selalu lepas. Dia berubah menjadi sangat baik menurutku. Karena merasa sedang senang, dia kembali mau memberikan hutangan kepadaku, serta menganggap dua batang rokok yang belum kubayar dua minggu lalu, lunas-nas-nas.

"Pakijo! Mau makan apa, Mas?" Sakinah langsung menyambutku. Beberapa lelaki yang sudah lebih dulu duduk mengantri di situ, langsung berwajah masam. Tapi ini hal yang wajar saja. Selain masih muda, wajahku lebih lumayan dari mereka yang berwajah karet. Hehehe.

"Biasa! Kopi satu, pisang goreng satu, rokok satu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline