Lihat ke Halaman Asli

Lok Baintan

Diperbarui: 8 Maret 2019   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Di sini angin kembali mengirimkan cerita dari bau kopi dan semburat matahari di permukaan sungai. Perahu-perahu terangguk mengikuti gelombang kecil, menawarkan diri disinggahi. Di sini pula kali pertama aku bertemu Brom, lelaki jangkung berwajah tirus nan cemerlang. 

Senyumnya melumpuhkanku. Kami bersama menyantap pagi di sebuah perahu, sambil sesekali dia berbicara seperti penyair membaca puisi.

"Kau senang berpuisi? Atau, kau memang penyair?" 

Dia tertawa. "Apa kalau berpuisi itu harus menjadi penyair? Siapa saja boleh berpuisi, tak perlu menjadi penyair. Puisi adalah lagu cinta yang bisa muncul seperti cendawan di musim hujan, saat kau benar-benar mencintai seseorang."

"Berarti kau sedang jatuh cinta?"

Dia terkekeh. "Jangan terlalu besar kepala menganggapku sedang jatuh cinta kepadamu."

Aku yang kemudian balas tertawa. "Lho, siapa yang besar kepala? Kau sendiri yang besar kepala. Aku tak menganggapmu sedang jatuh cinta kepadaku. Kau bebas mau jatuh cinta kepada siapa saja, tak mesti aku."

Di Lok Baintan, kembali aku mengulang kenangan bersama Brom. Perjumpaan kami kali pertama serupa menyeruput kopi yang rasa nikmatnya tiada terkira. Terlalu dini aku dan dia tiba-tiba saling akrab. Bahkan dalam hatiku, benih-benih cinta mulai bertunas. 

Tak ada yang salah toh! Cinta bisa datang pada kejap pertama. Cinta juga bisa muncul setelah kekerabatan yang lama serupa karat menempel pada besi.

Brom berasal dari Suku Bukit daerah Bangkalan Dayak. Dia lama merantau di Malaysia, Singapura dan beberapa negara Asia Tenggara. Dari kulitnya yang merah gelap, sudah dapat ditebak dia seorang pelaut. Dan tebakanku memang sangat tepat. 

Brom seorang kelasi di sebuah kapal barang. Pertemuan kami yang tanpa sengaja itu, adalah saat liburannya setelah dua tahun tak pulang ke Kalimantan Selatan. Brom sangat suka Lok Baintan. Menikmati pagi di Lok Baintan, sebelum matahari menyengat dan puluhan perahu bubar, membiarkan sungai menjelma sepi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline