Lihat ke Halaman Asli

Tuan Gondrong

Diperbarui: 4 Maret 2019   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Kuparkirkan motor di dekat rumah bergaya minimalis itu. Di pintu depannya tertulis sebaris nama; G-o-n-d-r-o-ng. Di bawah nama itu tertulis kalimat berhuruf kecil-kecil. Terpaksa kubelalakkan mata, lalu terbaca sebaris iklan menggoda; solusi masalah kejiwaan, anda bertanya kami beri solusi. Ah, mungkin aku tak salah alamat. Apalagi setelah kuambil guntingan iklan koran di saku baju, alamat si Gondrong memang di tempat ini. Jl. Angsa No. 1005.

Sebelumnya aku memang ragu-ragu memasuki halaman rumah itu. Suasananya sangat tak asri. Beberapa kaleng minuman menumpuk di sudut halaman. Daun-daun kering menggunduk dan dikerubuti ulat. Ada keset kaki yang tak jelas lagi warnanya, antara hitam dan coklat. Sebuah sapu bergagang buntung, menjadi pelengkap bututnya tempat itu. Tapi sekali lagi, aku tak salah. Semua tertulis jelas di pintu rumah dan iklan di koran. Inilah tempatku mengadukan keluh-kesah. Mengenai rasa malas yang menggantungi jiwa terus-menerus. Malas bekerja. Malas di rumah, sebab tak tahan ocehan istri meributkan persoalan ekonomi. 

Aku juga hanya sanggup merutuk tanpa niat mencari tambahan, selain bekerja di sebuah perusahaan MLM, yang hanya memberikanku rejeki "macan". Terkadang aku memperoleh penghasilan menggunung. Cuma lebih sering seret, sehingga hidup bagaikan tikus tercebur got.

Pelan kuketok pintu rumah itu. Kubayangkan seorang pembantu membukanya, lalu tersenyum ramah. Dia akan mengantarkanku ke ruangan  putih bersih. Di dalam ruangan, seorang lelaki pasti duduk tekun di belakang sebuah meja jati, sambil memain-mainkan pena di tangan. Dia berkacamata tebal. Dia buru-buru menurunkan kacamata itu, kemudian mengibaskan rambutnya yang gondrong.

Tapi bayanganku berantakan, manakala seorang lelaki berkepala plontos membuka pintu. Dia tak tersenyum sama sekali. Wajahnya dingin. Dia hanya memberi isyarat dengan gerakan jari tangan, menyuruhku masuk. Dasar pembantu gila, umpatku dalam hati. Kuikuti juga langkahnya memasuki lorong berliku dengan pencahayaan kurang. Bau pengap menusuk. Di dinding terbentuk peta rembesan air, menunjukkan sudah berpuluh bulan tak dibersihkan.

Lelaki itu membuka pintu. Membuka jendela, dan duduk di belakang meja berwarna putih susu. Sebelum dia menyuruhku duduk di atas kursi rotan di depan meja, kuedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang tak tertata rapi. Sebuah cangkir kaleng tanpa tutup, melimpahkan air dari mulutnya. Air kopi yang membuat meja di bawahnya kotor. Tumpukan koran dan majalah, mungkin porno, menumpuk di atas meja. Buru-buru lelaki itu merapikan, kemudian menjejalkannya ke dalam rak di belakangnya.

"Maaf, Tuan Gondrong, ada?" tanyaku.

"Saya Tuan Gondrong!" tekannya. Dia mempersilahkanku duduk, sekali lagi dengan isyarat jari tangan.

Aku gugup. Ternyata orang yang kukira pembantu, adalah Tuan Gondrong sendiri. Aneh juga, nama bisa gondrong, tapi kepala plontos. Orang yang nyentrik. Biasanya, ahli kejiwaan memang suka berdandan nyentrik.

"Ada masalah apa anda ke mari?" tanyanya. Dia menuangkan minuman, seperti beralkohol, ke dalam gelas mungil. Diangsurkannya kepadaku. Aku menjawab dengan senyuman. Tak ada niat sedikitpun mencicipinya. Hanya akan menambah penyakit jiwaku.

Aku pun menceritakan kondisi kejiwaanku belakangan ini. Mengenai rasa malas mencari nafkah, sampai persoalan seks bersama istri. Dia menyimak ceritaku sambil mengangguk-angguk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline