Tiba-tiba aku tersentak ketika lampu mati, seiring dering telepon selularku berbunyi. Regar, rekan Batak di sebelahku, menggerutu. Laporannya di komputer belum di-save, sehingga lenyaplah data yang sekian menit diketiknya. "Sontoloyo!" Dia menggerutu. Diraihnya buku kecil dan pena di atas meja. Dia langsung terbang ke luar menuju kantin di ujung lorong kantor.
"Telepon siapa yang berbunyi?" Andini melongok dari balik tumpukan arsip koran bulan lalu. Aku tersadar. Aku memegang kantong celana. Merasakan sebuah getaran di telapak tangan.
"Teleponku!" jawabku sambil melihat sebaris nama di layar telepon itu. Hmm, dari Iin. Perempuan manis yang hampir kulupakan hampir lima tahun ini.
"Masih ingat aku, kan?" Terdengar suaranya yang mendesah di seberang.
"Ya, kau Iin. So, aku pasti tetap ingat kau. Apa kabar?" Tawaku renyah. Iin adalah teman kecilku. Setamat SMA, dia hengkang dari Palembang menuju Jakarta. Bapaknya yang pejabat di PLN, dimutasikan. Sejak itulah kami tak pernah berhubungan lagi. Meskipun sekedar berteleponan.
"Baik!" jawabnya. "Nomorku masih kau simpan, Lang? Wah, kupikir kau telah menghapusnya. Bahkan tadi aku ragu meneleponmu. Aku takut nomormu sudah berganti. Nyatanya, kau masih setia."
"Kau lagi di mana?" kejarku.
"Lagi di pesawat menuju Palembang. Tunggu aku, ya? Pokoknya something special, deh!"
"Gila! Kau memang senang melanggar peraturan." Iin masih seperti dulu senangnya melanggar aturan-aturan. Apakah dia tak takut bahaya kalau sinyal teleponnya bisa mengganggu radar pesawat? Tapi dasar, bukan Iin namanya bila tak nakal.
Mendadak baterai teleponku nge-drop. Bunyi tit sekali, habis itu lenyap. Aku hampir meminta charger hp kepada Andini, kalau tidak Regar menarik lengan bajuku.
"Cepat, Lang! Aku butuh kameramu. Berita penting. Sebuah pesawat jatuh di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Dikabarkan semua penumpang dan awaknya hangus terbakar." Regar seperti kesetanan.