Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Maling Ternak

Diperbarui: 1 Maret 2019   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Aku terkesiap. Bunyi riuh gonggongan anjing itu menandakan sesuatu yang tak baik. Pasti ada orang yang mencurigakan mereka di luar sana. Sigap kuambil tombak bertangkai kayu sepanjang tiga meter dari balik lemari. Saipah, istriku keluar dari kamar. Rambutnya awut-awutan karena buru-buru terbangun oleh gonggongan anjing itu.

Kami memang selalu waspada sebulan terakhir ini. Maling ternak hampir setiap malam berkeliaran di kampung kami. Dan hampir setiap malam pula mereka berhasil menggondol ternak warga. Apa saja, mulai dari ayam, itik, entok, kambing, domba bahkan sapi. Untuk ternak seukuran kambing dan sapi, mereka biasanya menggunakan senjata api rakitan. Begitu kabar yang tersebar dari mulut ke mulut.

Aku sangat takut bila si Belo, sapiku dan dua ekor anaknya bernasib serupa. Memang hingga sekarang, belum sekalipun maling menjambangi kandang ternakku. Tapi mungkin bukan untuk malam ini. 

"Siapa, Pak?" tanya Saipah. Matanya liar menatap dari kisi-kisi jendela. Di luar pasti sangat gelap. Saipah tak menatap apa-apa, selain selintas-dua melihat anjing-anjing kami yang berbulu putih berlari keluar halaman, kemudian kembali ke dalam dengan sangat risau. "Anjing-anjing kita menggonggong terus. Apa tak sebaiknya Bapak  melihat ke kandang si Belo?" Aku baru sadar. Cepat aku keluar rumh sambil menyuruh Saipah mengunci pintu rapat-rapat. Kalau ada yang mencurigakan, dia harus berteriak meminta tolong. 

Maka, aku mengendap-endap di dinding rumah, lalu menuju kandang si Belo. Suasana tenang di situ. Bara pembakaran masih ada. Asap bergulung bergabung bersama kabut malam yang turun perlahan. Belo mengibas-ngibaskan ekornya. Matanya santai, dan tak ketakutan. Kutepuk-tepuk bokongnya. Kulihat sekeliling, kalau-kalau ada gerakan mencurigakan di belakang rumpun-rumpun bunga teh dan putri malu. Tapi hanya ada goyangan sedikit, akibat gangguan angin malam.

Aku kembali ke dalam rumah. Tiga potong ubi kayu rebus di piring seng, telah terhidang di meja ruang tamu. Segelas kopi mengebul sebagai temannya. Aku duduk, menyandarkan punggung di kursi rotan. Saipah keluar lagi. Dia menggendong anak bungsu kami yang terbangun karena suara ramai gonggongan anjing tadi.

"Sanwani ke mana?" tanyaku. Dia anak tertuaku. Sejak orang sering  menanggap organ tunggal, baik karena ada pesta kawinan, atau sebagai hiburan saja, Sanwani mulai jarang di rumah. Biasanya dia pulang setelah matahari pukul tujuh menguasai jagat. Dia akan menemui kasurnya, lalu tidur sampai jam dua siang. Begitulah yang terjadi nyaris sebulan ini.

"Katanya ada organ tunggal di tempat Mang Kadari. Ramai pokoknya. Organ tunggal dari ibu kota kabupaten," jawab istriku. Dia kembali masuk ke kamar menidurkan si bungsu yang kepalanya sudah terkulai.

"Dia mau pulang jam berapa?" teriakku.

"Pulang seperti biasa. Paling tidak jam tujuh pagi." 

"Mulai pergajul dia sekarang. Membantu aku mengurus si Belo saja tak pernah. Apalagi diharapkan ke ladang.. Padahal tenaganya dibutuhkan buat menyiangi rumput yang tinggi. Sebentar lagi jagung kita panen, Bu! Aku tak ingin ular mengedam di rumput itu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline