Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | El Camino De La Muerta

Diperbarui: 27 Februari 2019   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

Sebuah kedai kopi menyambutku dengan senang hati. Duduk di meja sudut, membuatku bisa melihat jauh ke utara, melintasi jalan terjal dan penuh jurang. Ini pekerjaan pertamaku sebagai imigran gelap; sopir truk. Segelas penuh kopi dan dua potong roti yang pinggirannya sedikit gosong, menjadi teman hangat pagi ini.

Hanya setengah jam bersantai. Keluar dari kedai kopi, seolah ada yang memerhatikanku. Seorang perempuan aneh di seberang jalan. Dia mengenakan pakaian hitam, lebih mirip ponco alias jas hujan. Dia, entah kenapa, tiba-tiba menyeberang ke arahku. Mungkin ada yang menarik minatnya di kedai kopi. Terserahlah! Aku memilih membuka pintu truk, lalu duduk di belakang kemudi.

"Maaf, saya mengganggu anda!" Ada yang menegurku dengan bahasa Inggris patah-patah.

Aku terkesiap. Nyaris terjengkang ke luar melewati pintu truk yang masih terbuka. Entah kapan perempuan berpakaian hitam itu duduk manis di jok. Aku tak mendengar sama sekali suara pintu dibuka. Sekelebat cerita tentang El Camino De La Muerta1), segera kubuang dari isi kepala. O, Bolivia, sama saja dengan Indonesia. Tapi, aku bukan pengecut! Pengecut tak boleh disematkan kepada seorang imigran gelap.

"Boleh saya menumpang? Nanti turunkan saya di sebuah  kedai di ujung El Camino De La Muerta." Dia menatapku dengan kornea mata biru terang. Kornea mata yang cantik.

"Anda tahu saya bukan orang asli kota ini?" Aku mencoba tenang. Dan aku tetap selalu tenang, bahkan untuk masalah genting sekalipun. Kunyalakan mesin. Truk melaju pelan melewati jalan menanjak, kemudian menurun. "Untuk orang secantik anda, selalu ada tumpangan."

"Ya, saya dapat menebak dengan rambut hitam dan kulit coklat anda. Ehm, terima kasih atas pujiannya."

"Tak usah memakai bahasa Inggris. Saya termasuk cepat bisa mengerti bahasa kota anda, kendati untuk mengucapkannya masih patah-patah."

Angin menghempas dari jendela. Bergegas kunaikkan kaca jendela di sebelahku, juga di sebelah perempuan itu.

Kemudian bermulalah cerita tentang El Camino De La Muerta dari mulut perempuan itu. Dia menyebutku lelaki pemberani. Melewati El Camino De La Muerta adalah seperti melewati gerbang kematian. Akan banyak cerita yang menyeramkan, yang mengawali kematian. Yaitu, dengan kemunculan hantu di kursi belakang mobil.

Cerita yang membuat tahi kupingku terasa bertambah menyumpal. Aku tertawa saja. Sama tertawanya aku ketika mendengar cerita Juan---orang yang mempekerjakanku menjadi sopir truk. Mereka belum tahu betapa banyaknya cerita menyeramkan khas Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline