Lihat ke Halaman Asli

Pak Tarmudi

Diperbarui: 23 Februari 2019   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

"Pagi, Pak Tarmudi!" sapaku seperti biasa kepada lelaki berumur enampuluhan tahun lebih itu, ketika melintas di depan rumahku. Tapi pagi ini mungkin hari yang luar biasa. Dia tak membalas sapaanku, selain ber-ah-uh, tanpa menoleh sekali pun. Ada yang salah pada diriku? Apa sapaanku kurang sopan? Padahal sapaan seperti itu adalah sapaan sama seperti yang keluar dari mulut ini selama sekian tahun kenal dia. Kenapa sekarang lelaki itu begitu asing dan lenyap di pengkolan jalan bagai tak memiliki hati?

Sebelum-sebelumnya dia senang menerima sapaanku. Bahkan dia urung melanjutkan jalan-jalan paginya karena melihat putriku yang berumur tiga tahun sedang bermain bersamaku di halaman depan. Dia bisa betah bersama putriku hingga matahari mulai hangat dan aku harus berangkat kerja. Kalau pun dia akhirnya pulang, itu pun sesudah cucunya menjemput sambil gerutuan panjang-pendek.

Pak Tarmudi memang tak memiliki hubungan khusus dengan keluargaku. Lima tanun lalu ketika pindah rumah ke tempat ini, aku hanya sekilas mengenalnya. Karena menurut tetangga, dia lelaki yang sombong, egois. Aku pun beranggapan sama, pada mulanya. Namun tatkala aku dan keluarga sengaja berkunjung ke rumahnya, ternyata aku salah besar. Dia orang yang baik, malahan teramat baik. Kami menjadi sangat akrab. Apalagi setelah putriku lahir dua tahun kemudian, dia seolah berubah menjadi ayahku. 

Hampir setiap pagi dia betah berlama-lama di rumahku. Lalu pulang saat aku berangkat kerja. Namun saat liburan, dia malahan tinggal sampai jam sepuluh pagi. Biasanya kami mengobrol panjang-pendek tentang kehidupan, tentang keluarga dan anak-anak kami. Atau sekali-sekali bermain catur sambil menikmati kacang rebus dan kopi hangat. Bila ada acara tinju di televisi, kesibukan kami berubah ke situ. Hidangan yang ada di meja pun menjadi berkelas. Jus buah dan mie atau nasi goreng. Ujung-ujungnya keluarganya sering merasa tak enak hati. Mereka takut bapaknya yang mulai pikun itu berbuat onar. Tapi menurutku dia masih normal seperti lelaki umur empatpuluhan tahun.  Hingga sewaktu mereka mencoba memarahinya, aku selalu siap menengahi.

* * *

"Apa kau pernah membuat hati Pak Tarmudi sakit, Mila?" tanyaku kepada istri saat menuju peraduan, dan putriku tetah terlelap di kasurnya.

"Tak pernah, Pa! Memangnya kenapa?" Dia melepaskan ikatan rambutnya sembari rebahan di sebelahku.

"Tak ada apa-apa. Aku hanya heran, kenapa tadi pagi dia seperti orang asing saja. Aku mencoba menyapanya, tapi dia membalas dengan ah-uh. Coba ingat-ingat, pernahkah kau berbuat yang tidak-tidak sehingga dia kesal?" Aku mencoba memutar-mutar otak mencari kesalahan yang kami perbuat terhadap lelaki tua itu.

"Mungkin karena papa tak memberikan oleh-oleh kepadanya sepulang dari Bengkulu tiga hari lalu. Ingat tidak, tetangga sebelah rumah kita memperoleh oleh-oleh itu meski sedikit, sedangkan Pak Tarmudi tidak," jelas istriku.

"O, iya! Jangan-jangan karena itu. Tapi sungguh aku tak ingin menyepelekannya mengenai oleh-oleh itu. Aku enggan mengantarkan ke rumahnya karena harus melewati beberapa rumah. Apa kata tetangga-tetangga yang lain? Aku malu."

"Ya, tapi...."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline