Lihat ke Halaman Asli

Pasar Murah

Diperbarui: 22 Februari 2019   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Aku tak mengharapkan ini terjadi. Sangat tak ingin! Kendatipun aku telah berhasil mendapatkan lima kilo beras, dua kilo gula pasir dan sekilo minyak goreng, dengan menerobos lautan manusia di acara pasar murah itu.

Kepala-kepala menyemut dan berkeringat, sedari pagi telah memaksaku fokus ke depan. Fokus berusaha menjangkau tenda beratap terpal biru dengan wajah-wajah Tionghoa yang selalu tersenyum ramah. Hasilnya kau tahu, cengkeraman tanganku di pergelangan tangan Sulai, anakku yang baru berumur dua setengah tahun itu, tak dinyana terlepas. Entak kapan dia lolos dari genggamanku. Aku terlalu berambisi sebagai orang super kere untuk mendapatkan barang-barang  seharga beberapa ribu rupiah itu.

"Anakku!"

Orang-orang di sekelilingku sebentar terganggu oleh teriakanku. Mereka bertanya dengan sorot mata menyelidik. "Anakku hilang!" lanjutku. Berpasang-pasang mata itu menatapku iba. Tapi hanya sebentar saja. Setelah itu mereka merangsek ke depan, menjepitku seakan memencet duri yang menusuk ke kulit tapak kaki. Dan akhirnya aku terlepas dan terengah, menjauh semeter dari lautan manusia itu.

Sulai ke mana? Anakku? Aku mencari-cari dan berdoa kepada Tuhan kiranya turun keajaiban. Misalnya Sulai tiba-tiba terlepas dari lautan manusia dan melihatku sambil meneriakkan 'Ibu'. 

Sayang sekali, aku hanya bermimpi. Bagaimana mungkin mencari seorang anak kecil di kerumunan manusia yang tak habis-habis? Tak surut-surut walaupun petang mulai mengintip dari ufuk barat. Anakku pasti hanya bisa menangis, menjerit-jerit memanggil ibunya. Anakku akan disapa seseorang atau beberapa orang. Anakku dibawa. Sulai diculik!

Perasaanku tak nyaman. Sengaja kulepaskan beban penat di bawah pohon akasia meranggas. Terbayang di benakku bagaimana kalau Sulai benar-benar diculik. Bagaimana kalau dia akhirnya dijadikan umpan iba di perempatan-perempatan jalan. Atau di bawah lampu-lampu lalulintas. Ya, dijadikan pengemis, sama seperti yang beberapa minggu lalu kulihat beritanya di televisi tetangga sebelah rumah. 

Beberapa orang anak usia antara enam sampai dua belas tahun diculik dari sekian ibukota propinsi yang berbeda. Mereka dipaksa mengamen dan mengemis di kota yang sangat jauh dan sangat asing. Mereka menjadi kacung jalanan tanpa bisa melepaskan diri. Kalaupun seorang-dua bisa bebas karena keberanian sekaligus kenekadan, itu hanyalah pengecualian. Itu keberuntungan, sehingga segelintir kejadian penculikan, bisa terbongkar. Segelintir. Hanya segelintir! 

Terbayang pula aku kepada Samingan, suamiku. Lelaki itu amat sangat mengasihi Sulai, sejak memberojol dari rahimku, hingga seusia sekarang ini. Wajah dan tingkah laku Sulai yang setali tiga uang dengannya, pun menambah berlipat-lipat rasa pengasihan itu. Maka itu Samingan tak pernah memarahi Sulai kendati berlaku nakal.

Apa-apa permintaan Sulai selalu diturutinya. Meskipun untuk semua itu terkadang kami harus semakin memperkencang ikat pinggang yang sudah membuat kami megap-megap. Terlebih-lebih ketika aku mengomel kepada Sulai yang senang mengulah. Alih-alih membantuku melembutkan hati anak yang mulai alot itu, Samingan malahan memarahiku. Berani mengangkat tangan hendak menamparku.

Bagaimana pula kalau berita memedihkan ini diketahui Samingan? Oh, oh, anak pengasihannya itu telah hilang di kerumunan manusia kere. Aku yakin dia akan mengerkahku. Aku harus rela menjadi bulan-bulanan omelan, pun pukulan-pukulannya. Yang paling kutakutkan adalah harus pasrah bila dia menjagal nyawaku alias memampuskanku. Oh, Tuhan. Kenapa anak itu bisa terlepas dari cengkeramanku?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline