Lihat ke Halaman Asli

"Green Book", Tentang Persahabatan dan Apartheid

Diperbarui: 17 Februari 2019   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Penghujung Januari 2019 yang cerah, saya (terpaksa) menonton film di bioskop bersama rekan kantor. Bukan karena saya pembenci dan selektif memilih film, melainkan mutlak memikirkan isi dompet. 

Berhubung saya ditraktir----maksud saya dibayari---akhirnya saya up to date, sorry maksud saya up to you,  kendati yakin film itu hanya  akan memberikan berkah tidur siang 

Adalah 'Green Book' judul film tersebut. Film bernuansa drama komedi dengan sutradara Peter Farrely, diproduseri oleh Jim Burkey dan kawan-kawan. Maskot film ini dipercayakan kepada Frank "Tony Lip" Vallelonga (Viggo Mortensen) dan Don Shirley (Mahershala Ali). Film ini diproduksi 2018.

Benarlah  quotes "don't look the book by the cover". Film Green Book ini juga bisa diibaratkan demikian. Tema yang dibesut amat sangat sederhana. Bercerita tentang persahabatan dua orang laki-laki, dibumbui sedikit komedi. 

Setelah saya disodori film tersebut, ternyata semua terbantahkan. Betapa saya merasakan bahwa film ini menghanyutkan dengan tema yang dikemas apik. Perkara komedi jauh dari kata "norak". Bahkan terkesan elegan.

Saya mendapat pembelajaran dari film ini. Pertama, Tony Lip meskipun berangasan dan tak tahu aturan, tapi dia berjiwa tulus. Dia tak bisa bermanis-manis dalam bersikap dan berbicara. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Don Shirley. Lelaki ini sangat menjaga image. Jangankan bersikap, berbicara saja dia text book. Dia anti makanan junk food. KFC dan kudapan unggas bertimbun minyak semacamnya, baginya adalah sampah.

Apakah hal itu membuat Tony Lip sebal? Satu sisi memang iya. Di sisi lain sepertinya tidak. Dia tak melihat Don Shirley orang yang harus selalu dihormati. Bila, tak senang, Tony pasti protes, meski jabatannya sebatas sopir pribadi sedangkan Don Shirley sang majikan. Thus--- dia juga tak peduli Don Shirley  berkulit hitam. 

Mereka bisa menjadi sangat akrab tanpa sekat perbedaan warna kulit. Bahkan Tony nekad memukul polisi karena menghina warna kulit Don Shirley. Bukan lantaran si Don majikan, tapi prinsip Tony tentang kesetaraan, bahwa setiap orang di bumi sama hak dan kewajibannya. Walaupun konsekuensinya Tony harus rela dianggap asing di komunitas kulit putih.

Kedua, tergambar dengan gamblang di film ini, bagaimana orang yang merasa stratanya di atas angin alias the white collar memberlakukan strata di bawahnya sebagai kelas rendahan. Orang rendahan atau kulit berwarna hanya bisa bergabung dengan white collar ketika dibutuhkan, tapi untuk duduk bersama nonsense. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di film, di dunia nyata akan sangat mudah anda menemukannya.

Ketiga, prinsip hidup memang membuat kita berharga. Ketika Don Shirley akan bermain piano di sebuah hotel, lalu menyempatkan dinner di restorannya, dia tidak diperkenankan karena berkulit hitam. Dia terikat kontrak dan akan dibayar mahal sebagai pianis, tapi dia memilih putus kontrak dan hengkang sebab menjunjung tinggi harga diri. Akan hal Tony Lip yang berangasan, apakah akan mudah disogok manajer hotel? Setali tiga uang, berangasan bukan berarti harga dirinya mudah dibeli. Kalau saja Don Shirley tak mencegah Tony Lip, yakinlah wajah sang manajer akan bonyok menjadi kornet.

Film bernuansa apartheid serta diangkat dari kisah nyata ini, menceritakan tentang Don Shirley sang Doktor di bidang seni musik adalah seorang pianis yang memiliki agenda show di beberapa wilayah Amerika. Sebagai panduan perjalanannya adalah Green Book atau buku hijau yang mencatat tempat-tempat dia akan show, pun penginapan khusus komunitas kulit hitam (negro).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline