Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Memberiku Sebuah Pelajaran

Diperbarui: 5 Februari 2019   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ref. Foto : pixabay

Segera kuhentikan membaca buku Chicken Soup for The Soul dan mengecilkan volume radio. Telepon selular yang berbunyi nyaring sekian detik lalu, pun kuangkat. Tertera nomor tidak terdaftar di layarnya. Dengan malas-malasan aku mengucapkan kata "hallo" kepada orang kurangajar di seberang. Jam sebelas malam masih meneleponku? Orang yang tak mempunyai perasaan!

"Rahman, ya? Sorry, malam-malam mengganggu. Kira-kira, kamu bisa meminjamiku uang sekitar lima juta, tidak? Aku perlu untuk membayar dp operasi ginjal anakku. Tolonglah, Cuma kamu yang bisa membantu. Kalau memang ada uangnya, pagi-pagi kujemput ke rumahmu."

Brengsek! Sudah mengganggu istirahat orang, dia malahan menambah pikiran. Meminjam uang? Apa dipikirnya aku ini bank berjalan? Lagipula, siapa sih dia?

"Oh, Maaf. Aku Hardi, teman sekantor kamu dulu," jawabnya seolah mengetahui jalan pikiranku.

Kuingat-ingat mantan teman sekantorku. Hardi, Hardi.... Ha, aku ingat dia! Dia adalah  bekas supervisorku. Mungkin jabatannya sekarang masih itu-itu saja. Beruntung aku cepat-cepat mengambil keputusan, berhenti kerja di kantor itu, kemudian memulai usaha sendiri.

Ternyata garis tanganku bagus. Aku sukses. Penghasilanku sebulan hampir mencapai delapan juta. Jadi, bila dipinjamkan ke si Hardi lima juta, uangku masih bersisa tiga juta. Cukuplah untuk biaya hidup sebulan bertiga istri dan anakku yang beranjak remaja.

Tapi tunggu dulu, kalau dipikir-pikir alangkah enaknya dia. Kupinjami uang, pasti tanpa bunga. Entah kapan bisa membayarnya, tak jelas. Bisa-bisa modal usahaku mati lima juta sama dia. Sekali lagi enak betul! Lagipula, bila lima juta kuberikan kepadanya, darimana lagi uangku untuk modal berjudi dengan teman-teman sebisnis? Kemudian mengencani Ratna yang bahenol, pelacur lokalisasi ternama itu.

"Bagaimana, Rahman?"

Dengas tegas kujawab, "Tidak!" Tanpa menunggu balasan dari Hardi, langsung kumatikan telepon sebenar-benar mati. Artinya, powernya ku-off-kan.

"Siapa, Mas?" Istriku tiba-tiba bangun. Dia mengucek-ngucek mata sambil berdiri. Dia berjalan ke meja, lalu meminum segelas air dingin sampai habis. Kemudian menatapku meminta jawaban.

"Biasa! Si Hardi. Mantan teman sekantorku. Dia mau meminjam uang lima juta. Kujawab saja tak ada," gerutuku seraya bersiap-siap tidur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline