Kami duduk bersisian pada sebuah bus jurusan Palembang-Bandung. Waktu itu pagi masih suam-suam kuku. Kulihat raut lelah memagari wajahnya yang bulat. Dia meluruskan kaki ke bawah jok di depan kami. Sebuah novel berjudul "Psikopat", meluncur hampir menyentuh lututnya. Dia bergegas meraihnya. Memantapkannya di antara lipatan paha yang hampir bulat. Dia tersenyum. Menatap cuaca mendung di luar dengan mata elang.
"Mau?" Semangkuk plastik kecil capucino yang hangat, kuangsurkan. Sementara semangkuk lagi kuhirup. Kebetulan minuman itu kuseduh di terminal bus sekian menit lalu.
"Maaf! Aku anti kopi." Dia menampik.
"Anti kopi?" Hmm, aku heran. Seharusnya di cuaca mendung begini, masa yang paling tepat adalah menyeruput kopi hangat. Ya, sekedar memanaskan badan, sekaligus menghilangkan kantuk. Tapi aku sadar, amat jarang perempuan yang menyenangi kopi. Paling tidak, hanya sebagian kecil bisnis woman. Ya, seperti mantan istriku, yang giginya menghitam dilantak kopi. Bibirnya legam karena terlalu sering ditempeli berbatang rokok. Dia pengopi dan perokok berat. Pekerja tender di sebuah perusahaan kontraktor. Selalu disibukkan dengan angka-angka dan tumpukan berkas.
Sementara aku hanyalah seorang penulis yang kutu buku. Meskipun rata-rata orang sepertiku hobby merokok, akan tetapi aku tidak. Pengopi juga aku bukan. Sekali-sekali saja, itu pun setelah dikenalkan Mirna, mantan istriku itu.
"Mau ke mana?" tanyaku. Dia mengalihkan pandangan dari novel itu. Alisnya bertaut karena kurang senang kuganggu. Sebentar ditariknya kerah jaket menutupi lehernya yang bulat. Hmm, perempuan yang tubuhnya bulat melulu. Tapi aku senang. Dia kelihatan subur seperti sebuah semangka bangkok menggoda. Pipinya memerah dengan lesung pipi di ujung bibir.
"Bandung!" Singkat jawabnya.
"Ah, tujuan kita sama. Tapi kali ini aku harus turun di Jakarta dulu. Ada urusan sebentar. Nanti kalau urusan kelar, barulah aku berangkat ke Bandung dengan bus lain."
"Oh!" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Aku mengedikkan bahu. Menyeruput kopi sampai tandas.
Sebentar kemudian, tiba-tiba kami menjadi akrab. Bercerita panjang lebar tentang pribadi masing-masing. Aku menjadi tahu kalau dia seorang perawan tulen. Belum pernah berpacaran sehingga umurnya mencapai kepala empat seperti sekarang. Bukan karena dia sengaja ogah pacaran. Melainkan siapa yang mau kepada perempuan bulat seperti dia. Dia lucu, menarik untuk dijadikan bahan senyuman. Tapi dijadikan sebagai sosok yang harus dicintai, mustahil!
Namanya Laila. Seorang disainer pemula yang selalu menjambangi Bandung-Palembang.