Lihat ke Halaman Asli

Sepotong Senja

Diperbarui: 25 Januari 2019   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sejak Piah---meskipun pada awalnya aku menolak mentah-mentah hasil diagnosa dokter Brutus---mengidap penyakit leukimia, hidupnya seolah tercerabut dari jasad. Hari-harinya selain berurusan dengan rumah sakit, tentu saja di atas kursi goyang sambil menikmati senja. 

Entah apa yang membuatnya sampai mencintai senja  itu. Bahkan bujuk-rayu untuk makan bubur atau minum obat, harus selalu menghadap senja. Padahal dia butuh istirahat nyaman, di atas kasur bersamaku. Kasur yang selalu dingin, setelah dia memilih kursi goyang dan senja keparat itu.

Pernah suatu kali aku mengajaknya jalan-jalan, ke taman misalnya, atau ke pinggir sungai.  Anak-anak juga ingin memboyongnya, berpesiar dengan pesawat terbang, ke tempat-tempat yang belum pernah dia singgahi. Jawabannya hanya tatap memelas sambil bertanya, apakah dia boleh membawa senja?

Aku kesal. Aku yakin ini gara-gara, ah..siapa nama pengarang itu? Ya, ya. SGA. Istriku, entah berapa kali mengulang-ngulang membaca cerpen karya lelaki itu. Terutama yang beraroma senja. Dan ketika buku berjudul Sepotong Senja terbit, dialah orang pertama yang langsung memesan dari pengarangnya, plus dibubuhi tanda tangan bertinta emas di bagian sampul belakang. 

Sial! Awalnya aku berpikir itu wajar saja. Tidak ada yang salah dengan cerpen dan kebiasaan membaca. Tapi kalau membaca cerpen lelaki itu, berulang dan terus berulang, apakah aku salah mencurigainya? Bisa saja istriku tidak hanya menyukai cerpen, tapi sekaligus terobsesi untuk mendapat cinta lelaki pengarang itu. Huh!

Untung saja setelah Piah melahirkan anak yang pertama, menyusul yang kedua, karya pengarang itu akhirnya hanya mengisi rak buku. Terhimpit oleh buku-buku non fiksi, hingga berdebu. Kesibukan mengurus anak-anak telah menyita waktunya. 

Lalu, seperti kataku semula, penyakit leukimia itu tiba-tiba mengembalikannya ke muasal, dengan tidak membaca karya lelaki itu, melainkan masuk ke dalam cerita. Menjadi pelakon perempuan yang hidup menghadap senja, dan kema.... Ah, tidak! Tidak boleh dia mati sedemikian cepat. Dia harus kuat. Penyakit hanya musabab seseorang mati beraktifitas, sedangkan jasad, jiwa dan akal masih hidup. Mati adalah ujung gelap, yang siapapun tidak bisa menebak, bahkan oleh seorang dokter hebat sekalipun.

"Cucu kita mau ulang tahun," kataku. Dia menatapku. Sayu. Kerut dahinya tidak sesuai dengan usianya yang baru menginjak lima puluh tiga tahun. 

"Cucu yang mana?"

"Pio, anak sulung Murtandi." Aku menyuapkan bubur ke mulutnya. Belakangan ini dia mulai malas makan kalau tidak kusuapi. Kami lebih sering berlama-lama menikmati senja, dan dia berkata merasa kembali muda. Muda yang olehku terlihat layu laksana daun kering yang siap dirontokkan.

"Boleh aku membawa senja?" Permintaan yang menohok ulu hati. Aku ingin menolak permintaannya, hanya saja aku takut dia akan menolak permintaanku. Sebagai jawaban untuk memuaskannya, aku mengangguk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline