Lihat ke Halaman Asli

Becak Mang Ibal

Diperbarui: 23 Januari 2019   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com

Pelan sekali mobil travel berhenti di ujung Jalan Kepodang. Mang Ibal yang sejak tadi memarkir becak di bawah pohon angsana, bergegas berdiri. Rejeki! batinnya. Mang Ibal langsung mengayuh becak buru-buru. Dia tak perduli meski jam  tangannya menunjukkan pukul setengah enam sore, pertanda sebentar lagi berbuka puasa. Rejeki pantang ditolak! Mang Ibal sudah membeli dua potong ubi goreng dan satu cangkir air mineral sebagai bekal berbuka puasa.

Dia meminggirkan becak sehingga hampir mencium dinding mobil travel. Seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh sedang, keluar dari dalam mobil itu diikuti yang lain. Sopir membuka bagasi belakang. Pemuda itu meraih tas punggung dari tangan si sopir, kemudian dia celingak-celinguk.

Jalan Bambu Runcing! batin si pemuda. Dia memilih-milih cara terbaik sampai di rumah Jalan Bambu Runcing. Kalau menumpang taksi, pasti butuh ongkos banyak. Hampir dua puluh tahun dia tak pulang ke kota ini. Dia sama sekali alpa situasi jalan dan lorong-lorongnya. 

Dulu, saat tinggal di sebuah rumah Jalan Bambu Runcing bersama emak dan ayahnya, dia masih berusia tiga tahun. Kata orang, ingatannya masih cetek. Lagi pula, sopir taksi bisa sengaja menyesatkannya. Menyesatkan penumpang membuat ongkos menjadi lebih mahal.

Memilih menumpang angkutan kota, pasti lebih parah. Jangankan tiba dengan selamat di rumah Jalan Bambu Runcing itu, alih-alih dia bisa tersasar. Alih-alih uangnya menipis, sehingga tiada pilihan lain kecuali pulang kembali ke Jakarta.

Mang Ibal tersenyum. Pemuda itu seolah melihat jawaban kebingungannya. Ya, menumpang becak adalah pilihan terbaik. Ongkosnya lumayan rumah, dan tak masalah bertanya-tanya tentang Jalan Bambu Runcing kepada si mamang becak.

"Mau ke mana, Nak?" tanya Mang Ibal.

"Mau ke Jalan Bambu Runcing!" jawab pemuda itu sambil duduk di jok becak. Mang Ibal langsung mengayuh pedal.

"Jalan Bambu Runcing? Bambu Runcing yang mana? Di sini Jalan Bambu Runcing ada empat. Bambu Runcing satu, dua, tiga dan empat?" Mang Ibal tak ingin menjelang berbuka puasa, dipayahkan oleh pemuda itu. Pemuda itu sepertinya buta tentang kota ini.

"Bambu runcing yang mana, ya? Maaf, Mang, saya tak tahu. Saya sudah meninggalkan kota ini dua puluh tahun lalu. Tapi samar saya ingat ada jembatan bambu di jalan menuju rumah saya. Ada sungai kecil berair jernih di belakang rumah. Hanya itu yang bisa saya kenang."

Mang Ibal geli. Mana ada lagi di kota ini jembatan yang terbuat dari bambu. Semua serba baja yang di atasnya ditimbun semen coran. Tak ada pula sungai kecil, karena semua sudah ditimbun tanah, dan dijadikan pemukiman elit atau pusat pertokoan. Bahkan rawa-rawa tak luput dari sasaran. Wajarlah tak ada lagi tampungan air kala hujan. Wajar pula bila hujan turun lebat semisal seperempat jam saja, maka kota ini langsung banjir. Jalanan macet karena beberapa kendaraan bermotor, mogok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline