Lihat ke Halaman Asli

Kepul Asap

Diperbarui: 22 Januari 2019   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok: Shutterstock

Kepul asap dan semerbak wangi kemplang bakar, menyeruak dari rusuk rumah. Sebuah pondok panggung tanpa dinding, beratap rumbia, tersekap kabut. Seorang perempuan usia senja, tampak seperti terkantuk-kantuk di situ. O, bukan terkantuk-kantuk. Dia tertunduk-tunduk, menjaga jangan sampai bara di dalam kotak besi di hadapannya---menjelma api---dengan meniup-niupnya. Aku tahu matanya pasti pedas. Aku tahu air mata berjatuhan di balik kacamata tebal itu. Ah, Mak Khoiriyah. Kau terlalu gigih menarung hidup, meskipun tubuhmu seharusnya perlu istirah.

Kukenalkan kepadamu tentang Mak Khoiriyah itu. Dia ibuku, biasa kupanggil Mak. Sejak aku berusia enam tahun, Mak telah didera cobaan teramat berat. Ayah, biasa kupanggil Bak, meninggal disenggol truk. Padahal Bak adalah tulang-punggung keluarga kami satu-satunya. Sementara Mak, kala itu sering sakit-sakitan. Mungkin karena mengandung adikku, si Mutmainnah.

Tapi betapa kekuatan hati Mak tiba-tiba menyeruak demi anak-anaknya. Memang berhari dia ditelan resah, dan tangis yang seolah memiliki mata air. Tapi genap dua minggu, dia sudah tegar. Dia ikut truk kuning bersama ibu-ibu berbaju kuning. Katanya ingin menyapu kota kabupaten.

"Mak!" jeritku. Bukan karena suara bising. Pendengaran Mak sekarang berkurang jauh.

Dia menengadah. Menyipit matanya menahan silaunya siang. Bergegas diangkatnya kemplang yang belum matang dari atas panggangan. Dia menampar-namparkan telapak tangan. Mencoba berdiri, meskipun susah-payah. Kupegang saja pundaknya. Kupapah dia menuju rumah.

"Kapan dari Palembang? Ada kabar apa? Cucuku sehat-sehat, kan?" Seperti biasa, setiap kali kami bertemu setelah jeda yang cukup lama, pertanyaan Mak selalu berentet dan membuatku gelagapan.

"Baru saja. Tadi kuperhatikan juga Mak sebentar bekerja. Sepertinya sangat tak kuat lagi badan Mak." Kutarik napas dalam-dalam. Niatku sebenarnya ingin mengajak Mak ke Palembang. Aku tak mau lagi dia bekerja terlalu berat. Coba, kapan waktuku untuk berbakti, membuatnya tenang menjalani hidup dan ibadah?

Dulu, ketika aku anak-anak, dia telah berjibaku menjadi tukang sapu kota kabupaten. Ketika aku remaja, dia beralih menjadi penjual gado-gado. Dan saaat aku dewasa, kemudian menikah, dia tetap menjadi penjual gado-gado. Tapi asam urat yang membuat kedua kakinya bergerak kepayahan, akhirnya memaksa Mak bekerja sebagai pemanggang kemplang. Kata Mak itu lebih ringan, karena kerjanya lebih sering duduk.

"Kabar kami semua, baik-baik saja, Mak. Bolehlah hari ini kita Palembang. Iruf, diterima di SMP pavorit. Nilai Ebtanasnya juga tinggi. Jadi, lusa ada hajatan kecil-kecilan di rumah."

Mak seperti enggan. Kulihat matanya suram. Tapi mengingat Iruf, dia terpaksa mengalah. Dipanggilnya Bedah, tetangga sebelah rumah, untuk meneruskan membakar kemplang-kemplang itu. Dia berbenah dengan mengumpul pakaian sehelai-dua. Tapi kutambahi beberapa helai, dengan alasan lagi musim hujan di Palembang.

"Nanti kalau pakaian Mak dicuci, susah keringnya," lanjutku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline