Setiap kali berbicara, mulut para lelaki yang beriring menuju sungai itu, mengeluarkan sesuatu seperti asap knalpot. Tentu berbaur dengan bau masam, bau jengkol atau pete, pun bau kelat rokok. Masing-masing mereka menangkupkan sarung sebatas kepala. Dingin yang menggigit menjelang shubuh, membuat tubuh-tubuh kurus liat itu menggigil.
Sarmin yang duluan turun ke sungai, lalu menumpukan kedua telapak kaki di atas dua buah batu sebesar kepala yang berdiri sejajar. Dia menarik kretek, menyalakan dan membiarkan pikirannya hanyut seperti sesuatu yang dihanyutkannya dengan ikhlas. Agak ke hulu, Saotik membasuh wajah. Sementara Murdin langsung menceburkan badan ke dinginnya sungai.
Sarmin mendekati Saotik setelah hajatnya selesai. "Katamu si Etek pulang dari Jakarta?"
"Iya! Mungkin nanti siang dia tiba naik ALS. Yang patas ber-ac!"
"Kabarnya dia kaya-raya. Mungkin dia membawa banyak oleh-oleh." Murdin menyelesaikan mandinya. Dia naik ke pinggir sungai dan mengeringkan badan sambil melompat-lompat. Sesekali dia meneleng-nelengkan kepala karena telinganya berdengung kemasukan air.
"Apa dia masih mengenal kita?"
"Hahaha, bisa jadi tak lagi! Dia pasti melupakan kita. Dia lebih mengenal orang Jakarta yang hebat-hebat."
"Pernah beberapa kali dia masuk tivi."
"Dia artis, ya?"
Pembicaraan terhenti. Gema azan shubuh yang dikumandangkan Liban si suara serak, membuat mereka bergegas naik menuju musholla. Nanti saja berbincang-bincang lagi tentang si Etek.
Ketika matahari mulai terik menerangi Kampung Manaon, riuhlah perbincangan orang di lapau si Ijon. Bermacam-macam yang dibualkan. Tapi semua tetap menjurus kepada si Etek.