Lihat ke Halaman Asli

Ujung Muara

Diperbarui: 16 Januari 2019   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pxhere.com

Bau amis sungai menjamah rumah-rumah panggung di ujung muara, yang berhadapan langsung dengan samudera. Lampu kelap-kelip di laut mulai meningkahi malam, seakan berebut menebar keindahan gelap dengan cahaya. Kau akan temukan anak-anak sibuk mengaji. Kau akan temukan para lelaki berkumpul di musholla sekelar Isya. Malam ini, mereka memilih mendekam di kampung ketimbang berlayar ke samudera.

Mereka risau setelah berbulan ini ikan seakan menghilang dari muara hingga ke pinggir samudera. Beberapa kilometer mengarungi samudera, mereka juga tak menemukan ikan. Apabila semakin ke tengah, mereka kecut akan keras deraan ombak. Ombak yang  sanggup mengoyak perahu.

"Bagaimana ini? Kita sudah melaporkannya ke aparat, namun tak ada hasil." Lao Ode menatap ke arah laut dengan tatap  sayup. Asap rokok menghalimun musholla.

"Mungkin aparat sudah dapat sogokan. Lalu, bisa kita apa? Mau bertarung di darat? Apakah kita bisa? Dari dulu retak tangan kita adalah nelayan. Tak mungkin kita langsung bisa menjadi pedagang dengan modal seadanya dan pengalaman nol." Hasan mengumpat kesal. Tinjunya mengarah ke rusuk musholla yag terbuat dari kayu. Ada getar sebentar. "Maaf," katanya malu-malu sambil mengusap kepalan tangannya yang agak sakit.

Perebutan lahan yang masih menyisakan ikan, seringkali menimbulkan permusuhan di antara nelayan. Belum lagi keributan di dalam rumah tangga sebab asap dapur tak leluasa mengebul. Anak-anak terganggu gizinya. 

Makanan yang tersedia jauh dari kata sempurna. Bahkan makan tiga kali sehari hanya dilengkap-lengkapkan dengan ubi kayu, misalnya. Belum lagi sekolah, belum lagi liburan entah ke mana. Semua terganggu. Semua karena pukat harimau sialan itu. Beberapa kapal penjarah yang ganas mengarungi samudera. Tak peduli mereka induk ikan, hingga benih-benih yang baru menetas, babat semua.

Beberapa kali nelayan muara berdemo ke kantor kelurahan, ke kantor kecamatan, ke kantor DPRD. Tapi semua seolah tak bertelinga, tak bermata, apalagi mata hatinya seolah tertutup oleh mungkin tumpukan uang. Membiarkan nelayan muara tertawa dalam tangis, tangis dalam jerit luka.

Bila ada kekuatan para nelayan, mereka ingin kapal-kapal itu suatu kali ditenggelamkan seperti yang sering dilihat di tv. Kapal-kapal yang tak hanya berbendara Indonesia, juga berbendera asing. Nelayan muara mulai lupa bunyi lagu hutan lautan hanya kolam susu, tapi yang ingat selalu, hutan lautan hanya akan membunuhmu.

***

Lao Ode menatap langit dengan roman sedih. Anaknya sedari tadi meributkan seragam yang koyak. Istrinya yang tak henti mengeluhkan beras di gentong hanya tersisa satu dua hari. Lao Ode telah mencoba mengadu nasib di pelabuhan, menjadi buruh angkut. Tapi, dia harus menerima kepala yang luka karena berebut jatah angkut dengan buruh kasar yang telah lama bekerja di sana. 

Lao Ode juga pernah membelikan bahan-bahan kering perlengkapan dapur. Salmiah  istrinya,  berjualan di lapak seadanya di depan rumah. Memang banyak tetangga yang membeli, tapi hampir semua berhutang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline