Angin panas menyela-nyela setiap tiang penyangga jembatan. Tampak dari kejauhan sang bunda---Jembatan Ampera---terpacak anggun dengan lalu-lalang perahu di atas musi yang ramah. LRT-pun merayap menghalau kemacetan.
Kami menghela napas lega, meski panas memanggang. Akhirnya empat tahun menunggu, lunas juga keinginan melintasi jembatan baru. Terbayang betapa dulu harus berjibaku melawan macet ketika fajar dan senja, melintasi jembatan yang fenomenal---Ampera.
Hanya dengan jarak tak lebih dua kilometer, antara Simpang Jakabaring dan Masjid Agung, terkadang harus rela waktu terbuang lebih lima belas menit, bahkan lebih, karena macet. Ada rasa sedih menyergap apabila Jembatan Ampera lelah hingga mencapai titik nadir, akankah dia sanggup bertahan?
Tapi setelah lahirnya sang anak---Jembatan Musi IV---beban itu berkurang. Jembatan sepanjang hampir 1,2 kilometer, dengan lebar 12 meter dan tinggi 16,88 meter dari titik terbawah jembatan, telah mengambil alih sebagian tugas berat sang bunda.
Meskipun harus menggelontorkan dana Rp. 521 miliar lebih demi sebuah penghubung kota, tapi telah memangkas waktu kurang lebih seperempat jam dari rumah saya di Seberang Ilir ke rumah sanak famili di Seberang Ulu. Jembatan yang salah satu kakinya terletak di Pasar Kuto dan satu kaki lain di 14 ulu ini, sangat melegakan dan mengefisienkan waktu tempuh.
Hanya saja perlu pembenahan alias percepatan pelebaran jalan di bagian Seberang Ulu, sehingga kemacetan tak terjadi karena jalan yang hanya selebar delapan atau mungkin saja tujuh meter itu. Yang penting Jembatan Musi IV adalah the best.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H