Tanah ini telah dikenalnya sebagaimana lekuk tubuh suaminya. Dari rumput-rumput lalang, tanah padas dan angin kasar yang selalu menyapu awan hujan. Sehingga tanah tak bersahabat pada air. Juga pada tetanam yang meminta pacul, demi manusia memacul hidup. Sebagai pekerjaan pencarian sesuap nasi. Memberi kekanak permainan, sekolah, akhlak dan sebagainya.
Tapi taklah semua terwujud, sampai berpuluh tahun sudah. Orang-orang pun eksodus ke kota. Mencari remah-remah dari pergelutan kasar dan tak sopan. Barangkali sempat menyempil menjadi buruh kasar atau mungkin office boy di gedung yang tak ramah. Lebih parah, akhirnya memperoleh pekerjaan menjadi pengemis, pengamen, budak-budak jalan, penjual seks dan barangkali sembunyi-sembunyi berprofesi sebagai perampok, penodong, pembunuh, ah!
Dan dia memang betah menyadap tanah lempung di pucuk bukit ketika bumi masih lembab. Pada saat daun menetas embun. Berlaku dari dulu, sejak remaja, sampai dia berumur hampir enampuluh tahun seperti sekarang. Setelah uban menggerumit di kepalanya yang berketombe. Setelah dadanya mengempes, dan menghasilkan selusin anak. Anak yang menghasilkan berlusin anak pula, sebagai generasi bernama cucu. Tapi begitupun, dia tetap berusaha mencakar bumi dengan tangan kurus-liat.
Dia tak ingin menyembah pada anak. Sebab Tuhan-lah sesembahannya. Dia percaya pada rejeki di tangannya. Meskipun rejeki itu kasar. Harus dibetot, digulat sepenuh hak, agar tetes-tetes hak itu diperoleh memenuhi perjalanan hidup penuh makna. Bukan menjadi orang terhina, sebagaimana anggapan orang bahwa perempuan sepertinya lebih sering tersisih. Hanya menjadi pelengkap keluarga. Mengurus anak, dapur, meja makan dan hasrat suami.
Dulu tabiat itu sebentar memang dilakoninya dengan setia, seperti matahari yang terbit setiap pagi di timur, tenggelam setelah lelah berkeringat di barat. Tapi semenjak suaminya meninggal dunia duapuluh tahunan lalu, karena terpeleset ketika menyadap lempung di bukit, otomatis lakonnya bertambah. Dia tak hanya mengelola keluarga dengan tabiat perempuan, melainkan harus menjadi motor hidup. Dia harus mencincang keperempuanannya menjadi lelaki gagah.
Mendaki bukit-bukit terjal, yang terkadang liat ketika pagi. Memundak keranjang rotan yang talinya diikatkan di kepala. Kemudian dipenuhkanlah keranjang dengan lempung. Dibawa turun ke darat, di belakang rumahnya, untuk dijadikan tembikar. Berhari membuatnya, sehingga terkumpul cukup banyak. Dibawa ke pasar. Dijual lebih murah, demi menebus lebih cepat bahan pokok untuk kehidupan anak-anaknya yang selusin.
Sekarang, setelah anaknya mencakar hidup di negeri rantau. Menjadi guru, pejabat, staff, benalu bahkan pengganggu, dia tetap bertahan menyadap lempung di bukit. Membuat tembikar sedikit berkurang dibanding masa muda dulu. Di samping karena tenaganya menipis, posisi tembikar mulai tergusur di pasar.
Sekarang orang lebih senang mempergunakan barang-barang aluminium, besi baja, plastik atau apalah untuk perangkat rumahtangga mereka. Karena lebih praktis, dan mungkin murah. Padahal menurutnya, tembikar lebih bagus. Masakan yang diletakkan atau dimasak di tembikar, akan terasa lebih legit. Sebab dia telah menyatu dengan bumi, yakni tanah lempung yang telah mengeras dan berbentuk itu.
Namun dia tetap tegar. Dia tahu, selama orang masih mau berjuang, maka hidup ini tetap miliknya. Berbeda bila terus berkeluh-kesah, takut berbuat, maka dia tak memiliki hidup. Menjadi penonton yang hanya mampu mencemooh, bukan berbuat lebih baik.
* * *
Dialah perempuan itu. Mak Rokiah---yang telah membesarkanku---anaknya. Meskipun dia telah mengajariku bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan, tapi aku tetap menghadapi hidup dengan lembut. Aku tak mengikuti jejaknya menjadi penyadap lempung. Melainkan menjadi pekerja di sebuah penerbitan.