Lihat ke Halaman Asli

Ibu Api

Diperbarui: 21 April 2017   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya selalu berharap, Ibu tersenyum menyambut saya setiap kali pulang sekolah atau bermain. Dia akan berdiri di depan pintu sambil menggendong Adik.  Dia menanyakan kepada saya, apakah pelajaran di sekolah baik-baik saja. Atau, adakah yang mengganggu saya saat bermain. Lalu, dia merengkuh bahu dan mengiringi  saya ke meja makan. Dia hidangkan sepiring nasi dengan lauk menggoda, atau segelas susu hangat dan sepotong roti bakar berselimut susu kental manis, bertabur meises. Aduhai, alangkah indahnya!

Dia menemani saya menonton televisi ketika senja merapat. Mengajari saya mengaji selepas maghrib. Mendongeng sambil mengipas-ngipasi tubuh saya dengan selembar koran. Menemani saya hingga lelap, sembari mengecup pelan kening saya, “Selamat bobok, Sayang!”

Tapi  harapan saya tak pernah terwujud, mendapati Ibu yang baik hati. Perempuan yang senang tersenyum. Perempuan yang setiap kali memeluk saya, ketika saya butuh perlindungan. Berkali saya berdoa kepada Tuhan. Berkali pula saya berpikir Tuhan malas mengabulkan doa saya. Mungkin karena saya jelek, kurus seperti belalang sembah, bermata besar seperti kukang. Teman-teman malah melagukan penampilan saya; berdiri seperti pedang, berbaring seperti papan.

***

Ibu bagaikan kobaran api setiap kali menyambut saya di depan pintu. Dia seolah membakar tubuh saya menjadi abu. Terkadang saya berpikir, apakah dia Ibu saya. Apakah dia sebenarnya jelmaan kuntilanak yang dipaku Ayah kepalanya, lalu Ayah memperistrinya. Atau, apakah saya, si belalang sembah sebatas anak pungut. Anak yang dipungut seperti kain gombal di jalanan.

Hari itu mereka butuh kain gombal. Dan hanya saya yang diberikan Tuhan kepada mereka. Lalu, setelah mereka bisa membeli kain yang empuk, bersih dan harum, itulah Adik, mereka mencampakkan saya. Ah, bukan mereka. Hanya Ibu. Karena Ayah sangat tulus menyayangi saya. Ibu juga tulus menyayangi saya saat Ayah ada di rumah. Hanya saat dia ada. Setelah dia tak ada, bless, nyala api membakar seisi rumah.

Seperti siang ini, Ibu menjadi api yang memegang gagang sapu di depan pintu. Rambutnya menyala-nyala. Matanya menyilaukan api. Mulutnya menyemburkan percikan bara.  Sebentar lagi saya akan hangus menjadi abu. Begitupun, sata tetap menyiramkan air, dengan senyum yang mungkin hampir mirip seringain si Mongki, monyet tetangga sebelah. Nyatanya, air saya tidak merubah keadaan. Andaikan saya berlari menjauh, sejauh apa anak berlari. Anak akan tetap pulang ke rumah, kalau dia tak ingin kelaparan di luaran sana.

“Tole, apa lagi yang kau lakukan di sekolah? Apa-apa serba mahal setelah BBM naik. Kau malahan pulang-pulang dengan baju kotor. Lihat, sudah dua hari air PAM mati! Ayahmu juga tak memberi uang belanja. Pembeli sabun colek pun tak ada!” Ibu menceracau, lalu mengakhiri ceracauannya dengan hantaman gagang sapu ke kaki saya. Rasanya perih, menguliti betis. Menusuk ke tulang kering. Saya takut kaki saya patah. Beruntung tak apa-apa, selain kulit betis memar. Hanya gagang sapu itu yang patah, mengawali patahnya hati Ibu. Dia meraih sapu itu, menggendongnya. Sementara hati saya yang patah, dibiarkan berlalu. Saya menangis di sudut ruang makan sambil berjongkok. Beberapa saat lamanya, setelah Kang Mursid, pedagang keliling yang menjual beragam peralatan rumah tangga, menyembuhkan patah hati Ibu dengan sapu baru, barulah saya ditoleh Ibu. Dia menyorongkan makanan di atas piring seng ke arah saya, mengumpamakan saya anjing kudis  kelaparan.

Apakah kau pikir saya benci Ibu? Dan suatu saat benci saya mengubun, sehingga kau dapati berita di koran, seorang anak menusuk ibunya dengan pisau, hingga tewas. Ah, kau salah besar! Saya sayang Ibu, meskipun dia api. Meskipun dia berulangkali membuat saya menangis. Saya tetap berusaha riang beberapa menit atau jam kemudian, setelah dia membakar saya.

Saya malahan sering ketakutan membayangkan Ibu hilang, dan dijebloskan ke dalam sel penjara. Berkali-kali saya menonton berita di televisi, bagaimana seorang Ibu harus menjadi penghuni penjara karena menyiksa anaknya.

Ibu bagi saya bukanlah penyiksa, meskipun dia api. Saya tahu betapa banyak tumpukan piring, pakaian, yang harus dia cuci. Bagaimana dia seperti kesetanan melihat kran yang selalu seperti mengencangkan diri, tak mau meneteskan air. Dia kemudian memaki-maki PAM. Belum lagi gunungan pakaian yang belum diseterika. PLN selalu main petak-umpet dengan Ibu. Terkadang menyala, tapi lebih suka mati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline