Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rifan Prianto

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Memaknai Ilmu Makna Bahasa, Semantik

Diperbarui: 19 Juli 2024   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kenapa ketika kita sedang terpanah asmara selalu dikaitkan dengan sebuah ungkapan jatuh cinta. Bukannya kata "jatuh" berkenaan dengan adegan yang akan menyebabkan luka, perih, sakit, dan sebagainya. Mungkin juga kita pernah bertanya kenapa warna merah selalu identik dengan mawar, darah, atau bahkan ideologi komunis.

Menjawab pertanyaan sebelumnya, perlu adanya landasan ilmu untuk membedah bagaimana sebuah kata dapat berubah maknanya dalam konteks tertentu di dalam kalimat dan situasi. Di salah satu jaringan ilmu linguistik, terdapat ilmu bernama semantik.

Semantik atau dalam bahasa Yunani semantikos (berarti penting atau signifikan) merupakan suatu studi yang mempelajari tentang makna dalam bahasa. Meski ilmu semantik sempat tak dianggap sebagai tataran cabang ilmu linguistik pada era strukturalis, namun setelah buku kedua (pada tahun 1965) dari bapak linguistik transformasi, yakni Chomsky, semantik akhirnya dianggap sebagai komponen atau bagian dari cabang ilmu linguistik.

Banyak orang awam tidak menyadari bahwa gejala semantik sebenarnya inheren dengan kehidupan kita sehari-hari. Seperti pada ungkapan kata majemuk jatuh cinta yang menyebabkan perubahan makna dan citra dari kata "jatuh" itu sendiri. Hal ini berkenaan dengan pelepasan makna kata atau leksim dari pengertian atau konsep dasar, serta acuannya. Selain itu, apabila dijadikan kalimat utuh, kata majemuk tersebut memiliki makna kontekstual (makna sebuah kata atau leksim yang berada pada satu konteks) sendirinya, dan tidak mewakili makna leksikal (makna yang seutuhnya atau sebenarnya, dan dapat berdiri tanpa konteks apa pun).

Kemudian, mengenai pemaknaan warna merah yang identik dengan mawar, darah, atau bahkan komunis, sudah melalui proses pemaknaan secara asosiatif (makna sebuah kata atau leksim yang memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang berada di luar bahasa). Makna asosiatif juga memiliki kemiripan dengan lambang atau perlambang yang digunakan masyarakat bahasa sebagai sebuah ungkapan yang menyatakan konsep lain, yang dirasa memiliki kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang identik dari asal kata atau leksim tersebut.

Makna asosiatif mempunyai beberapa turunannya (Leech, 1976), seperti makna konotatif, makna stilistika, makna kolokatif, dan makna afektif. Sederhananya, makna konotatif (lawan denotatif) berada dalam hiponim asosiatif sebagai bentuk asosiasi dengan nilai rasa dari kata tertentu. Contohnya, kata komunis di Indonesia berasosiasi buruk, jahat, tragedi berdarah, dan sebagainya. Namun, di negara lain seperti Rusia atau Tiongkok, kata komunis memiliki asosiasi yang berkenaan dengan ideologi negara, landasan berpikir, kemakmuran, kesejahteraan, dan sebagainya. Contoh lainnya, terdapat kata kurus yang memiliki konotasi netral atau tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan (unfavorable). Namun, dalam sinonim kurus, seperti ramping, memiliki konotasi yang positif dibanding kerempeng yang lebih berkonotasi negatif (dalam hal ini juga mencakup perincian eufemia atau eufemisme dan disfemia).

Selanjutnya, makna stilistika lebih berkenaan terhadap pembedaan penggunaan  sebuah kata yang mewakili perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Contohnya, kata rumah, pondok, kediaman, istana, vila, kondominium, apartemen, dan wisma, masing-masing dapat memberi asosiasi berbeda terhadap penghuninya. Lalu, makna kolokatif berkenaan ciri makna yang identik dan selaras dari suatu kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim. Misal, untuk memuji lelaki yang rupawan, kita dapat menggunakan kata tampan, tetapi tidak bisa menggunakan kata cantik (karena kata cantik identik dengan perempuan).

Berbeda dari tiga peranakan makna asosiatif sebelumnya, makna afektif lebih dapat terasa apabila dituturkan secara langsung atau dalam bahasa lisan. Makna afektif sendiri berkenaan dengan perasaan penutur atau pembicara terhadap lawannya atau terhadap objek yang dibicarakan. Misal, kita dapat lebih merasakan bagaimana perasaan dari pembicara berikut "Tutup mulut kalian!" bentaknya kepada kami. Jika dari bacaan, mungkin tidak ada intonasi yang dapat membuat respons pendengar lebih merasa takut atau terintimidasi.

Apabila ditarik ke bagian jenis makna yang lain, kata merah memiliki acuan dasarnya, sehingga kata tersebut terdapat referensnya. Dengan kata lain, kata merah mewakili jenis makna referensial karena terdapat acuannya di dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti karena, dan, atau, dan bagaimana, tidak bermakna referensial karena tidak mempunyai referens di dunia nyata.

Selain yang sudah tertera sebelumnya, ilmu semantik juga memahami tentang suatu peribahasa dan idiom, yang mana kedua hal ini berada dalam jajaran jenis makna. Perbedaan dua hal ini memiliki porosnya masing-masing.

Misal dalam beberapa idiom berikut, kata majemuk meja hijau bukan hanya ditafsirkan secara leksikal saja, melainkan terdapat makna yang berhubungan dengan peradilan. Lalu, dalam kata majemuk menjual gigi juga tidak hanya ditafsirkan secara gramatikal, tetapi terdapat makna tertawa keras-keras. Dengan demikian, idiom dapat didefinisikan sebagai satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diprediksi secara telanjang secara unsurnya, baik secara leksikal atau gramatikal, tetapi dapat melampaui kedua pemaknaan tersebut, dan tidak dapat diramalkan maknanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline