Lihat ke Halaman Asli

Kenali Tindakan Bullying dan Wujudkan Sekolah Ramah Anak

Diperbarui: 11 April 2020   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: https://www.bimakini.com/2018/11/stop-bullying-pembuat-video-kingkong-stress/

             Kata “Bullying” bagi masyarakat Indonesia mungkin terdengar tidak asing lagi karena memang sudah banyak berita yang disiarkan tentang kasus ini terutama dalam dunia pendidikan. Berdasarkan hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014, disebutkan bahwa hampir di setiap sekolah terdapat fenomena bullying, mulai dari jenjang SD, SMP hingga SMA. Menurut data KPAI, dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk bullying sendiri, baik di bidang pendidikan maupun di sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.

            Sudah tahukah anda apa itu bullying? Bullying sendiri diartikan sebagai sebuah tindakan atau perilaku menyakiti orang lain dalam bentuk fisik, verbal, emosional, radikal, dan seksual. Tindakan bullying biasanya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa bahwa dirinya memiliki kekuatan lebih dari korbannya. Adapun sasaran atau korban tindakan bullying ini umumnya anak yang memiliki gaya berbeda dari kebanyakan anak lainnya. Salah satu contoh kasus bullying yang cukup tragis hingga menyebabkan kematian terjadi di Bekasi pada tahun 2019. Seorang bocah laki-laki berinisial FA dirundung dengan cara dipukul dan ditendang oleh teman sepermainannya yang lebih tua hingga harus dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian ini cukup memprihatinkan terlebih terjadi di dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat anak-anak belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

            Mengapa bullying di dunia pendidikan kita ini bisa terjadi? Tindakan ini biasanya berawal dari candaan yang ringan seperti meledek atau mencemooh hingga ada kejadian yang lama kelamaan bisa berujung pada tindakan fisik seperti mencelakai korban dengan sengaja. Tindakan bullying ini juga dianggap sudah membudaya di tiap sekolah sehingga dianggap hal biasa dan banyak sekolah yang tidak menganggap serius kasus bullying ini selain dengan teguran ringan saja. Padahal jika terus dibiarkan, bullying bisa berdampak buruk bagi sisi psikologis korban seperti stress, depresi, putus asa, hingga keadaan terburuknya adalah bunuh diri.

            Lalu adakah ancaman hukuman bagi pelaku bullying? Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) telah tertulis bahwa “setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 Juta. Secara lebih spesifik, jika praktik bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka sudah ada juga pasal yang mengaturnya yaitu pada Pasal 54 UU 35/2014 yang dituliskan bahwa “anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.

            Secara sosiologis, tindakan bullying ini termasuk ke dalam masalah sosial. Menurut Soerjono Soekanto, masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada, dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Jadi jika dikaitkan dengan masalah sosial, tindakan bullying ini bisa termasuk ke dalam tindak kejahatan, karena gejala-gejala yang terjadi merupakan gejala patologis. Bullying juga dianggap sebagai masalah sosial karena dapat menimbulkan keretakan hubungan dalam kelompok sosial seperti antar murid, orang tua dan sekolah, dan antar orang tua.

            Lalu bagaimana pencegahannya dan penanganannya? Menurut komisioner KPAI, bapak Susanto dalam acara Berita Satu, ia mengatakan bahwa yang menjadi kunci pemberantasan bullying di sekolah ini adalah kesamaan persepsi antara pihak sekolah, murid, dan KPAI tentang perbedaan tindakan candaan dan tindakan bullying. Hal ini cukup penting, karena setelah mempelajari kasus-kasus bullying, alasan utama kasus ini tak kunjung mereda adalah lingkungan sekitarlah yang tidak peduli tentang apa yang telah terjadi pada korbannya, sehingga tanpa adanya dukungan yang kuat, sang korban pun tidak berani untuk bersuara meskipun dirinya merasan tertekan.     

            Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tujuan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Cerdas disini tidak diartikan dalam aspek pengetahuannya saja, namun cerdas dalam berperilaku juga penting. Untuk mencegah dan menghentikan kasus bullying ini, sekolah perlu meningkatkan kualitas pendidikan pada peserta didik melalui penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Selain dari peserta didik, guru juga harus aktif memperhatikan perkembangan perilaku peserta didiknya, karena tidak sedikit dari mereka yang tetap bungkam saat dalam keadaan terbully, maka jika terjadi perubahan yang tidak wajar guru bisa cepat bertindak. Apabila peran guru sebagai orang tua di sekolah tidak mampu menjadi tempat yang nyaman bagi anak didiknya, lalu siapa lagi yang akan menjadi tempat mereka berlindung di sekolah saat keadaan tak memihak lagi padanya. Untuk meminimalisir tindakan bullying ini pihak sekolah harus mampu menindak tegas pelaku dan membantu korban mendapatkan keadilan agar ke depannya kasus seperti ini tidak terjadi secara berkelanjutan. Sekolah juga seharusnya bisa mewujudkan “Sekolah Ramah Anak” yang idealnya menjadi tempat yang nyaman, aman dan menggembirakan, sehingga anak bisa belajar dan berkembang tanpa adanya intimidasi dari oknum mana pun dengan jaminan pemenuhan hak-hak anak di dalam lingkungan sekolah.

            Sebagai bangsa yang beradab, kita berharap generasi muda Indonesia memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi, sehingga perlunya penolakan keras terhadap fenomena bullying di dunia pendidikan kita. Pendidikan Indonesia harus mulai mengarah pada penguatan pendidikan karakter agar peserta didik bisa saling menghargai, menghormati, dan mengindahkan perbedaan di masyarakat Indonesia ini yang umumnya sebagai masyarakat multikultural.

Referensi:

Soekanto, Soerjono. 2015. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline