Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Rifan

digoogle aja, dia lebih pintar

Sesulit Apa "Mem-Pancasila-kan" Kebijakan Lingkungan Hidup?

Diperbarui: 3 Januari 2022   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Negara Indonesia hasil sketsa Sultan Hamid II (cagarbudaya.kemdikbud.go.id via kompas.com)

Membahas Pancasila dan Kebijakan lingkungan hidup adalah hal yang sangat sulit, bahkan sebatas mengetahui permukaan dari pemahaman Pancasila yang memiliki keterkaitan dalam segala lini kebijakan.

Mengawali tulisan yang saya upayakan mampu tersampaikan secara santai ini. Kiranya perlu dipahami bahwa adanya lingkungan merupakan wujud kasih sayang antara tuhan terhadap ciptaannya. Wujud kasih sayang ini kemudian oleh para pendiri bangsa dirumuskan menjadi beberapa prinsip atas konteks pengelolaan Lingkungan yang terus dikembangkan dan ditafsirkan hingga mampu diterapkan dan menjaga "kemakmuran rakyat".

Pancasila kemudian lahir dengan menopang beragam prinsip yang terus berkembang dan dikembangkan, diantaranya: prinsip kemandirian (Kebangsaan dan Nasionalisme), prinsip keadilan sosial, prinsip demokrasi ekonomi, prinsip toleransi dan solidaritas, dan prinsip ketuhanan (kerohanian).

Kelima prinsip ini kemudian diamanahkan oleh Pancasila sebagai cita hukum dan norma fundamental negara yang selalu dijadikan batu uji didalam melakukan legitimasi sudut pandang filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Agaknya terlalu jauh kalau kita membicarakan legitimasi sudut pandang filosofis, sosiologis, dan yuridis secara mendalam didalam tulisan sesantai ini.

Sebagai pengantar dengan bahan-bahasan sederhana dan bentuk moralisasi akademik. Pada dasarnya untuk melegitimasi nilai-nilai Pancasila, Pemerintah (Pusat, Daerah, hingga Desa) berperan dalam membentuk pemikiran ditengah masyarakat agar mencapai titik temu antara Nilai, Keyakinan, Fakta dan Norma. Masyarakat juga demikian, perlu melakukan konfirmasi melalui tindakan-tindakan secara rasional dalam bentuk aspirasi, gagasan, atau pendapat.

Namun, upaya tersebut merupakan hal yang rumit untuk dilaksanakan karena masing-masing diibaratkan 2 (dua) jenis benang yang berbeda. Kerumitan untuk menemukan kedua benang merah antara Legitimasi Pemerintah dan konfirmasi Masyarakat menjadi tantangan bagi sudut pandangn yuridis untuk menafsirkan dan menjustifikasi titik temu Kebijakan Lingkungan Hidup.

Tidak sepesimis itu untuk menemukan titik singularitas didalam Kebijakan Lingkungan Hidup. Meskipun, dalam tulisan Henry P Huntington, beberapa negara yang mengklaim telah menemukan titik temu antara kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pembangunan justru terindikasi melakukan praktik diskriminasi ketika sedang memilih dan memilah antara masyarakat modern dengan masyarakat adat.

Kejadian dimana terdapat kecanggungan untuk menyikapi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (Traditional Ecological Knowledge) bukan sebagai ilmu pengetahuan yang valid sehingga bermuara pada pengisolasian peran serta masyarakat adat dalam upaya perlindungan den pengelolaan lingkungan hidup. 

Dampaknya, stempel kearifan masyarakat dianggap sebagai bentuk lokalitas, kompleks, dan cenderung heterogen sehingga memperlukan usaha (effort) yang adaptif dan integral bagi Negara untuk mengelaborasikannya dengan kebijakan atau regulasi hingga level paling rendah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline