Agak terlambat rasanya membahas topik beginian, ya, karena Saya menunggu 1 minggu untuk bisa mengupload tulisan ini sebagai bentuk etika penulisan saya, yang sebelumnya sudah dipublikasikan di www.rumahkeadilan.co.id (monggo bisa dilihat).
Diawali dari isu-isu (masih isu) di balai kota, sebuah diskusi ringan nan santai bertajuk "DANA POKIR MENGALIR SAMPAI JAUH" yang dilaksanakan di Lembaga Konsultasi dan bantuan Hukum Rumah Keadilan menghadirkan Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Kota Malang Abdul Aziz, dan Aktivis dari Rumah Keadilan Syahrul Sajidin sebagai Narasumber.
Diskusi santai ini mulanya hanya membedah sebatas istilah hingga arah penggunaan dana POKIR (Pokok Pikiran) yang mulai populer di kota Malang pasca momen viral berskala lokal pada bulan Agustus-Oktober 2017.
Yaa.. gimana tidak, POKIR ketika sudah berada ditangan pejabat "beretika" mereka memaknainya sebagai bentuk bantuan masyarakat agar (para dewan) bisa menjaring aspirasi saat masa reses, sehingga target pembangunan masing-masing daerah tercapai.
Berbeda momen ketika POKIR berada ditangan pejabat "oknum", mereka cenderung memaknai sebagai rejeki yang menjamah tindakan korupsi.
Sehingga tak heran tahun lalu di balai kota, diawali dari penggeledahan yang dilakukan KPK di ruang DPRD kota Malang, hampir seluruh anggota dewan kota pendidikan (kota Malang) berpindah kantor sebagai obyek pemeriksaan KPK di POLRESTA Kota Malang.
Lalu kondisi demikian disusul dengan kegiatan pendalaman oleh media dan para pencari keadilan dengan berbagai kajian kritisnya, hingga dokumentasi terhadap momen ini muncul di halaman pertama google tanpa menggunakan SEO.
Bisa dibilang ini merupakan kebutuhan primer bagi media dan para pencari keadilan untuk benar-benar menelaah bentuk pemufakaatan jahat dengan pola yang hampir identik selalu sama (pola berjamaah akan mufakat jahat dibawah meja rapat).
Pola-pola demikian ketika sudah masuk media pun akan dilanjutkan dengan terbentuknya presepsi masyarakat tentang ketidak-elokan para pejabat legislatif dengan menggeneralisir satu instansi.
Presepsi demikian kurang lebih akan melabel bahwa kegiatan permufakatan jahat dibawah meja untuk mempercepat musyawarah bagi pejabat tiap kebijakan adalah hal yang wajar. Hal yang wajar bahwa pola kegiatan di bawah meja inilah yang kemudian ditutupi dengan alokasi dana POKIR oleh yang terhormat bapak dewan.
Kewajaran penggunaan dana POKIR inilah yang berbahaya apabila dikemudian hari diklaim sebagai bentuk kebiasaan oleh legislatif atau eksetuif. Karena secara tidak langsung kita sepakat pula memilih pemimpin yang membiasakan suatu kesalahan daripada menyalahkan suatu kebiasaan.