Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

Senja di Bandara

Diperbarui: 1 Juli 2021   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya mencoba memberikan senyum terindah sambil mengulurkan tangan. Kau mencoba membalas, meski sebatas ringisan. Hujan menggambar cahaya menjadi suram. Senja yang muram. Hujan juga begitu terlatih memetakan gigil di pelupuk kaca. Dingin menyelimuti seluruh calon penumpang pesawat di ruang tunggu ini.

Bunyi pengumuman bahwa pesawat merah itu akan delay sekitar setengah jam lalu, membuatku de javu. Si merah lagi, si merah lagi. Mengapa sih dia suka diberikan rapor merah yang memualkan? Saya mengumpat.


Tadi, sejak turun dari taksi, saya sudah membayangkan kasur empuk. Saya telah membasuh tubuh dengan air suam-suam kuku. Mungkin masih ada sisa minuman di kulkas. Tentu ditemani kripik, suasana dingin menjadi sedikit, yah, menyegarkan. Sembari berbaring di kasur sambil menggonta-ganti channel, waktunya berburu film yang paling romantis di akhir pekan ini.

Brengsek! Tapi setelah pengumuman delay, hidup saya seakan punah. Sebuah lagu melow dari headphone, saya yakin tak akan berhasil mendinginkan rasa. Malahan menambah banyak antrian gerutu demi gerutuan. Kalau ada Olympiade Gerutuan Tingkat Dunia, mungkin saya akan menjadi pemenangnya.

Saya mencoba membunuh suntuk sembari membaca novel dengan tebal 400 halaman, yang sudah tiga kali saya khatamkan. Tapi jujur, ada beberapa halaman yang saya lewatkan, karena akan mengganggu pikiran saya tentangmu. Artinya, saya tentu akan mengingatmu lebih dalam.

Dan syukurlah, setelah kita duduk berhadapan, saya seolah mendapat durian runtuh. Entah kenapa hati saya bersorak riang. Saya harus meminta maaf kepada si merah. Perantaranya, saya harus menunggu tak pasti. Perantaranya pula sehingga saya bisa bertemu dirimu dengan sebuah senyum ringisan. Kamu menjaga image sambil menyembunyikan tangan di balik kantung blazer. Artinya, apakah kau risih menerima uluran tangan saya dengan telapak kasar karena tak ada perempuan yang merawatnya?

Saya ingat pertengkaran itu di awal retaknya hubungan kita. Kau membuyarkan gairah meja makan di malam itu. Kau bercerita tentang gadis mungil, berwajah manis, yang tak mempunyai ayah-ibu. Kau sudah menanyakan ke induk semangnya, dan dia setuju-setuju saja. Kau bertanya kepada gadis mungil itu. Kau akhirnya mendapat pelukan girang darinya. Kau pun setuju gadis mungil itu kita adopsi.

Dengar, bukan kita adopsi! Kau sendiri yang mau mengadopsinya. Saya merasa terhina. Saya tahu setelah kecelakaan hebat di kilang minyak itu, membuat saya kehilangan kejantanan. Saya diultimatum dokter tak akan bisa memberikanmu kepuasan bathin. Dengan mengaposi si gadis mungil, apakah kau ingin menyindir, saya tak bisa memberimu anak? Shit!

Padahal saya tak bermasalah. Kenapa kau tak pernah menanyakan saya bagaimana kalau kita mengikuti program bayi tabung di Singapura?

Oya, ternyata saya menemukan bukti beberapa minggu kemudian. Bau parfum Bvlgary Man yang lengket di blousemu. Saya selalu marah-marah setelah itu. Saya tak pernah mau mendengar pertanyaanmu, apa sebenarnya masalah kita.

Dan bukti selanjutnya, saya melihatmu berulangkali dengan seorang lelaki tampan di beberapa restoran. Saya catat ada sekitar lima kali. Lagi-lagi kita bertambah sering ribut. Saya pun memutuskan kita pisah ranjang. Sebulan berselang pisah rumah. Setahun kemudian kita---sebenarnya saya yang ingin---berpisah untuk tak bertemu lagi. Bukankah itu lebih baik daripada kita seakan setumpuk bara dalam sekam, yang pada akhirnya akan menjelma api?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline