Berita lelayu pagi itu, menyeruak dari toa uzur bersuara kemerosok, menyentak warga Bawah Dapur; kampung kecil yang terletak di kaki bukit, di bawah bekas dapur umum romusha, kala itu.
Si Jalu belum pun berhasil berkokok melampaui dua oktaf, tapi beragam celoteh telah berhasil mengganti tugasnya membangunkan warga. Mulai dari celoteh di sungai tatkala membuang hajat. Celoteh di kedai sampah, warung kopi, hingga di dapur Kurnen yang meributkan pasal nasi gosong dan gulai berasa air kobokan.
Padahal sudah ghalib berita lelayu terdengar di negeri itu. Setiap yang hidup pasti akan mati. Namun yang meninggal bukan orang sembarangan. Taklah dari kaum akar rumput, yang mesti ditebas apabila menyemak pandangan.
Tersebutlah Haji Suketi, salah seorang dari tiga imam besar Bawah Dapur; Murad yang belum bergelar haji, Haji Saukad, dan Haji Suketi. Di antara mereka, Haji Suketi menjadi penengah. Penengah ini maksudnya tidak berpandangan kolot, sebaliknya tiada pula terlalu modern.
Murad amatlah kolot, jamaahnya melulu atok-atok. Sedangkan Haji Saukad berbeda seratus delapan puluh derajat, berpandangan terlalu modern. Jamaahnya rata-rata anak muda. Kalaupun ada di antaranya atok-atok, itu pengecualian, karena dia berjiwa anak muda, tapi terjebak dalam tubuh atok-atok.
Nah, sekarang sudah jelas bagimu, yang meninggal itu adalah Haji Suketi! Tapi kabar selepas berita lelayulah, yang menyulut warga hingga terbakar. Gosip menjadi asyik, bertambah digoreng bertambah sip. Cerita satu centimeter, bisa menjadi dua centimeter. Cerita satu meter, bisa menjadi dua meter.
Dia meninggal karena bunuh diri! Ah, kata-kata "meninggal karena bunuh diri" sepertinya terlalu sopan, melainkan; mati bunuh diri!
Kok bisa seorang imam mati bunuh diri? Dia harusnya dapat memberi contoh, misalnya meninggal tatkala sujud atau memberi ceramah. Bukannya mati bunuh diri. Memalukan!
Haji Saukad berjuang keras membela sahabatnya itu. Dia yakin semakin tinggi iman seseorang, maka semakin kuat pula dia didera cobaan. Mungkin Suketi--rasanya tak layak dia disebut haji---saat itu tak tahan ujian hingga terpaksa bunuh diri.
Berarti laku bunuh dirinya dibenarkan agama? Warga ngotot. Haji Saukad bungkam. Dia pasrah mendengar gosip menyebar, membubung, melalap habis kampung. Menjadi abulah seluruh pamor Suketi, hilang tak berbekas apabila angin berhembus membuatnya tiada. Dia berubah lebih buruk dari kisah kain gombal yang tak dicuci puluhan tahun. Jelek sejelek-jeleknya!
Akan tetapi hal itu tak menyurutkan niat warga mendatangi rumah mendiang pada malam pertama membaca yasin. Bukan lantaran ingin berdoa, selain berghibah, sehingga mereka kebanyakan memilih memenuhkan tarup di luar ketimbang di dalam rumah yang hanya diisi segelintir atok-atok.