Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

Bagaimana Kami Makan, Bang?

Diperbarui: 14 April 2020   23:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Urat-urat saya bertonjolan. Terbit  keringat sebesar biji jagung di kening. Siang nanti mudah-mudahan berakhir panas terik. Ini hari saya. Rejeki orang tak mungkin tertukar.

Saya ingat keluhan istri tadi malam. Tentang beras yang tinggal beberapa genggam. Tentang susu kental yang sudah kering. Kalaupun kalengnya diperas, pasti tak akan menghasilkan setetes apapun.

Istri  bisa mengganti susu kental dengan air tajin. Tapi dia takut Menar tak suka. Bila tak suka sesuatu, anak itu bisa menangis histeris. Suaranya lebih menjengkelkan dari kucing yang sedang kawin di atas atap, lalu membuat asbes retak di beberapa sisi. Bagaimana dengan beras?

Suara ngiat-ngiot tatkala saya mengayuh sepeda, membuat semangat ini terpacu. Saya ingin sepulang berjualan, wajah-wajah buah hati belahan jiwa itu sumringah. Apalagi yang lebih membahagiakan di dunia ini kecuali melihat wajah mereka berseri-seri.

Kotak persegi empat di boncengan pun tak mengecewakan. Istri  memang jagonya hampir segala kuliner. Termasuk urusan membuat es lilin. Ada rasa jeruk, coklat, kacang ijo, juga nanas di kotak itu. Pokoknya semriwinglah. Maka tepat pukul sepuluh, saya membelokkan stang sepeda ke arah Lorong Jambu.

Saya heran, lorong itu ditutup menggunakan bangku panjang. Ada sebuah spanduk dibentangkan; Lauk Daun, begitu bunyinya. Saya menebak bahwa sedang ada kenduri. Tumben, biasanya kalau kenduri, paling tidak  disediakan kari kambing. Atau minimal ayam gulai. Nah, ini lauk daun! Apakah orang di lorong itu begitu melaratnya, hingga kenduri terpaksa berlauk daun?

"Kok tutup-tutup segala, Mas Sap? Kenduri, ya? Ajak-ajak, dong!" Saya turun dari sepeda.
"Pala lu peyang! Ini jaman wabah, jadi harus lauk daun. Sana, sana!"

Saya bersiul-siul, kembali mengayuh sepeda dengan riang. Riang saya tinggal setengah. Di Lorong Jambu, biasanya ada pelanggan tetap. Es lilin  bisa laku sebuluh batang. Tapi kali ini saya apes. Baiklah, mudahan-mudahan ada yang memanggil. Matahari semakin terik menyilaukan mata.

Namun, jangankan orang yang memanggil, angin saja ogah berhembus. Jalanan lengang. Trotoar yang biasanya penuh gerobak penjual sarapan, semua berselimut terpal aneka warna. Saya tiba-tiba teringat wajah Miah. 

Ya, Allah saya sangat tak ingin melihat wajah istri ditekuk karena sedih. Saya tak mau melihatnya menangis. Saya juga teringat wajah Menar. Apa jadinya bila dia menangis histeris? Apa jadinya kalau sampai seharian? Tetangga bisa protes.

Ah, masih belasan lagi lorong yang belum saya masuki. Mudah-mudahan es lilin saya laris-manis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline