Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

[Cerita yang Terlepas] Selasar Usia

Diperbarui: 7 April 2020   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi : pixabay

Di situlah dia berada. Pada warung kecil menggoda, menyempil di sebelah toko semi permanen. Penjual gado-gado yang apik merawat selera. Aku selalu melambatkan laju motor saat melintasi warungnya. Melapangkan rongga dada, agar aroma kuah kacang bisa bersemayam. Kau tahu, betapa rasanya membelit lidah,  melilit selera bersantap, entah kenapa.

Kau mungkin menebak aku penggatal. Hmm, sejahat itu tebakanmu?

Mungkin si penjual gado-gado berwajah cantik, tubuh gitar spanyol, lagi janda muda. Dasar! Apakah janda muda selalu identik dengan pelakor?

Kau tetap kukuh dengan pendapat awal, bahwa aku  suka gado-gado di warung itu mutlak karena penjualnya. Ya, bisa jadi. Aku memang sangat tertarik kepadanya. Perempuan pelit senyum bertatap lamur. Tubuh ibarat padi bunting, merunduk bukan berisi, melainkan kerut usia telah melipat habis masa  mudanya.

Walaupun  berusia 90 tahun lebih, dia tak lelah menarung hidup, hingga kelak tangan maut benar-benar mengambilnya dari atas bumi ke liang tanpa bisa kembali.

Kataku, dia perempuan tua pemarah. Setiap aku berbelanja, dia selalu berucap ketus, minus senyum.  Tapi aku tetap menjadi pelanggan setia. Anehnya, setua itu, gurih gado-gado olahannya tetap selangit.  Aku kerap bingung karena dia masih hapal bagaimana mengadon bumbu yang membuat lidah berdangdut ria.

Hingga saat panas membakar lalul-lintas siang itu, rindu lidahku berkepusu. Air ludah menerbitkan hujan lokal. Mendengus pelan, kuparkirkan motor di samping warungnya.

Pukul satu siang. Udara garang. Di dalam semacam bakul rotan, pada etalase sederhana, hanya ada setumpuk kecil sayur gado-gado. Aku melihat perempuan itu dibuai angin lalu, duduk di kursi plastik. Oleng ke sana-ke mari. Dia mungkin bermimpi sedang  di atas ketek, berlayar di derasnya Musi.

Rambutnya riap-riapan. Aku teringat mendiang Mak. Ah, aku menjadi sedih. Andai engkau masih hidup, Mak, mungkin romanmu tak jauh beda dengan perempuan itu.

"Mbah!" ucapku lembut. Perempuan itu bergeming. "Mbah! Mbah!" ucapku lebih keras. Mungkin suaraku mengganggu seibarat ngingngong nyamuk nakal,. Dia merubah posisi duduk. Tetap dengan mata terpejam. Tertidur. "Mbah! Mbah! Gado-gadonya, Mbah!" Suaraku melebihi keras sebelumnya, dengan penambahan kata gado-gado.

Apa karena dia lebih hapal dengan kata gado-gado ketimbang "mbah", aku sendiri tak tahu. Dia  terbangun dengan iler menjalar bibir. Malu-malu dia tersenyum menghapusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline