Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

Cerpen | Istri Ngidam Naga

Diperbarui: 18 November 2019   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi : pixabay/artie_navarre

Saya tak habis pikir kenapa ada fenomena ngidam pada saat istri hamil. Mulai dari ngidam makan mangga muda yang dibeli di pasar, hingga hasil curian---dan itu memang tuntutan--- dari pohon milik tetangga. Lebih gawat lagi bila dia ngebet makan mangga muda pada tengah malam, sementara kalian tinggal di perumahan yang jauh dari pasar. Kalau bukan lantaran cinta istri dan calon bayi, mungkin kamu ogah melakukannya. Apalagi mata sudah lima watt, yang bila menolak tidur terkadang bisa kuwalat besok paginya.

Tapi teror ngidam kamu itu belum seberapa ketimbang yang saya alami. Andai bisa dibayar dengan uang, biar jutaan melayang, saya ikhlas, asal istri tak ngidam yang begituan.

Kau pasti kenal dengan pria Batak bernama R. Sinaga, kan? Katakan saja iya! Sesama teman harus saling membela.

R. Sinaga itu rekan bisnis saya di perusahaan migas, kendati pada awalnya saja. Setelah lihay urusan lelang, dia menjelma rival bisnis saya. Setiap proyek yang hampir saya dapatkan, dengan mudah dia hanguskan. Dia bagaikan naga, menyemburkan api ke mana-mana.

Maka saya tak lagi menyebutnya Pak Sinaga, melainkan si Naga. Mudah-mudahan kau faham maksud saya.

Meski setiap kali kami bertemu, dia selalu mencoba melemparkan senyum termanis yang dia punya, saya anggap itu kamuflase. Tipu-tipu. Mungkin dia menganggap saya pengusaha cemen. Saya sering kalah setiap bertarung.

Saat kami bersahabat, dan pertama kali dia bermain lelang di kota ini, Naga kerap sowan ke rumah saya. Dari yang namanya kongkow, makan, hingga tidur bersama---tentu saya bukan penganut lgbt---pernah kami lakukan. Tapi setahun belakangan ini, kami menjadi musuh abadi.

Saya tak pernah lagi menawarkannya bertandang ke rumah saya. Alhasil, Naga tak juga ingin menawarkan diri agar diundang. Baguslah, sebagai musuh, dia telah pintar bersikap.

"Bagaimana, Bang?" Istri kembali bertanya. Hujan yang turun di halaman, tak bisa menyejukkan  hati saya.

Saya kesal, ingin marah. Tapi petuah ibu, pantangan marah kepada  istri yang sedang hamil. Janin di rahimnya akan kecik kundu atau jatuh semangatnya. Jadi saya tetap menjaga agar ujung bibir tetap menyunggingkan senyum.

"Bagaimana apanya, Dek?" Saya pura-pura tekun membaca koran. Istri manyun. Dia merasa suaminya seolah tak hirau lagi. Apa sudah tak cinta? Apa karena dia menjelma balon dengan perut tak rata?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline