Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

Cinta di Lengkung Kafe

Diperbarui: 6 November 2019   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Awal Nopember. Kau berlari menghindari hujan yang tetiba menderas. Anak-anak turun ke jalan meneriakkan suka cita. Memercikkan air ke tubuhmu dengan sengaja. Kau menjerit setengah marah. Tumit sepatu tinggimu patah. Kau terpincang-pincang menjangkau teras Lengkung Kafe. Terdengar umpatanmu, tapi berakhir tawa. Perempuan di sebelahmu---mungkin temanmu---mencoba menyabarkan. Kalian pun terpingkal, sehingga hilang kharisma perempuan kelas atas yang kalian jaga.

Aku suka itu! Orang memang rata-rata senang hujan, meski hati sedang kesal. Apalagi bagi seorang barista. Hujan membuat pelanggannya bertambah dua kali lipat, karena ingin menyesap secangkir arabica yang lengket di lidah.

Anak-anak itu semakin histeris menarikan request hujan deras. Jalan dijadikan lapangan bola darurat.  Klakson menyalak memekakkan telinga. Mereka  tak hiraukan. Mobil dan motor akhirnya  menghindar, menyisakan klakson melengking.

"Hai, Baron. Pesan yang biasa ya. Dua cangkir espresso. Antarkan ke meja sudut, seperti biasa." Mungkin baterai Mita baru dicas. Suaranya bersemangat nian. Namun perempuan kuyup di belakangnya---dengan langkah terpincang---sungguh merampok perhatianku. Mita selalu berhasil membawa teman yang menarik hati.

Mita mencondongkan wajahnya. "Oh, ya. Dia temanku. Kenalkan, namanya Loli." Dia seakan lambat menyadarinya.

"Seperti nama permen, ya?" Aku menyalami Loli, yang tergelak karena Mita menghadiahiku cubitan.

Dia tetiba meralat pesanan Mita. Mungkin secangkir teh manis lebih menghangatkan suasana ketimbang kopi. Agak ganjil pesanan itu diarahkan kepada barista yang terbiasa meramu kopi. Tapi pembeli adalah raja.

Aku tetap mengiyakan, lalu menghidangkan pesanan mereka seperempat jam kemudian. Mita tertawa menahan geli. Meminta teh kok kepada barista. "Tak apa. Tak ada yang salah dengan penyuka teh." Aku membela Loli.

Aku pun bergabung bersama mereka. Dari sekarang hingga Lengkung Kafe tutup, aku pastikan aku akan bebas tugas. Hanya pelanggan gila yang masih nekad melintasi hujan membadai demi secangkir kopi

Aku  suka---mungkin ini namanya cinta--kepada Loli. Selain menarik hati dengan gayanya yang simpel, dia ternyata seorang novelis yang amat kukagumi. Dia bernama samaran Sambas. Dalam bayanganku selama ini, dia  adalah seorang lelaki botak dan sudah tua. Ternyata dia masih amat muda, perempuan lagi.

Kami kemudian berbincang serius tentang dunia tulis-menulis. Di jujur, barusan itu dia baru pulang lounching novel terbarunya di sebuah hotel berbintang. Dia mengeluhkan kenapa panitia louncing begitu ngotot menyuruhnya berpakaian sangat resmi. Itu membuat tubuhnya risih. Seolah dia tersesat dalam dunia asing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline