Lihat ke Halaman Asli

Rifan Nazhip

Menebus bait

Hanya Tiga Kata, Aku Rindu Ibu

Diperbarui: 5 November 2019   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: pixabay

Dari ceruk matanya yang mulai keriput, aku melihat kenangan samar, seorang Amang junior berlarian di liar alam. Dia mencoba menghalangi bocah kecil ini. Memelukku, lalu menyerahkan kembali  ke alam liar, dan kami tertawa di atas awan. 

Tak  jarang kami rebahan di padang rumput. Mencoba menghitung awan yang berarak. Tapi rama-rama mencegah, hitunganku tercerai. Aku pasti tergelak. Berlarian mengejar rama-rama itu, di antara jeritnya yang tertahan agar aku tak menangkapnya. Dia diciptakan bukan untuk dimiliki, tapi hanya untuk dinikmati. Seperti sekarang sedihku berkepusu. 

Apakah dia diciptakan bukan untuk kumiliki, tapi membiarkan dia bertarung dalam dunianya, yang memeta di kerut mata? Haruskah kelak aku hanya bisa menyentuh wajahnya dalam album kenangan? Tak bisa memancarkan air mata bahagia dari sudut kelopak yang terbuka. Tak bisa merengkuhku dalam, karena aku terlalu kekanak pada kedewasaan pikirnya. Salahkah aku ingin memilikinya selamanya?

"Cita-citamu apa, Nak?" Kali itu di suatu masa ketika pelukannya begitu gemuk dan sintal. Kuingat tinggiku sebatas pinggangnya yang semakin lebar.

"Hmm, Pak Polisi!" Rata-rata kawan cowok memilih itu sebagai cita-cita yang gagah. Bagaimana akan gagah juga melindunginya dari gangguan  orang jahat, agar ayah juga tak sebebasnya melepaskan amarah, karena aku adalah tumbuh dari rahimnya.

"Kenapa?"

"Ingin menjaga Ibu!"

"Hanya menjaga Ibu? Menjaga Kakak?"

"Tidak! Kakak suka melawan Ibu."

"Ayah?"

"Tak juga. Ayah suka marah! Aku seterusnya menjaga Ibu."        

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline