PENDAHULUAN
Ketika anak tumbuh dan berkembang, penting untuk melihat mereka sebagai individu yang sangat berharga dalam pandangan Tuhan, dengan potensi dan bakat yang dapat berkembang secara signifikan melalui interaksi yang saling mempengaruhi antara kemampuan dasar mereka dan pengaruh pendidikan (Arifin, 2009). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika menemui anak-anak dengan karakter yang beragam karena perbedaan kecerdasan dan pengaruh pendidikan yang mereka terima. Namun, terdapat perbedaan pada beberapa anak, ada anak yang sangat rajin dalam proses belajar, sedangkan yang lainnya cenderung malas. Selain itu, ada yang belajar dengan motivasi untuk mencapai kemajuan, sementara yang lain belajar hanya demi menghindari adanya hukuman. Sifat negatif yang muncul pada anak tidak berasal dari naluri alamiah mereka. Sifat tersebut dapat muncul bisa karena akibat kurangnya pengawasan dan peringatan yang diberikan oleh orang tua dan pendidik sejak usia dini. Oleh karena itu, akan jadi kesalahan serius jika orang tua dan pendidik mengabaikan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anak (Purwanto, 1995).
Para ahli pendidikan, termasuk guru telah lama berupaya untuk menemukan metode yang tepat dalam proses pendidikan. Terdapat berbagai teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh ilmuwan dari berbagai paradigma, termasuk paradigma behaviorisme, kognitivisme, humanisme, serta teori pendidikan lainnya. Setiap paradigma memiliki pemahaman dan gagasan yang berbeda, dan hal ini berdampak pada metode dan hasil yang dicapai dalam proses pendidikan. Tidak peduli dalam bentuk, tampilan, atau model apa pun, tujuan dari pendidikan adalah membantu perkembangan anak didik agar menjadi individu yang lebih baik. Terdapat banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam proses belajar, termasuk metode pemberian konsekuensi. Tidak dapat disangkal bahwa orang tua sering kali menggunakan strategi reinforcement dan punishment dalam mendidik anak-anak, terutama dalam konteks pembelajaran. Dalam paradigma teori belajar behaviorisme, terdapat penggunaan reward (penguatan positif) dan punishment (hukuman) dalam konteks pendidikan. Pemberian reward dan punishment dalam proses pembelajaran bertujuan untuk memberikan stimulus yang mendorong anak agar termotivasi untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan, dengan tujuan membentuk pribadi anak.
Punishment merupakan kata dalam bahasa Inggris yang artinya sebagai hukuman, tindakan siksaan, atau perlakuan yang kasar terhadap seseorang sebagai akibat dari perilaku yang tidak diinginkan. Konsep disiplin diterapkan ketika adanya pelanggaran terhadap aturan dan sebuah perintah. Disiplin berkaitan erat dengan aturan dan hukuman sebagai konsekuensi dari melanggar aturan. Disiplin bertujuan membentuk perilaku sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam budaya di mana individu tersebut berada (Bergner, 1990). Tidak seperti kata "punishment", reward merupakan bentuk reinforcement yang bersifat positif. Di sisi lain, punishment merupakan bentuk reinforcement yang bersifat negatif. Keduanya diterapkan dengan tujuan untuk membangkitkan motivasi. Tujuan dari punishment adalah untuk menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang sebagai akibat dari perilaku yang tidak diinginkan (Kosim, 2008), diharapkan agar mereka tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran atau norma.
Dalam implementasinya, baik reinforcement maupun punishment diharapkan menghasilkan perubahan perilaku yang lebih baik lagi pada anak. Namun, ternyata tidak selalu demikian. Terdapat beberapa dampak yang mungkin tidak diinginkan. Saat reward tersebut diberhentikan, motivasi anak juga ikut hilang. Begitu pula dengan penggunaan punishment, yang seharusnya bertujuan untuk menghentikan perilaku negatif, namun seringkali tidak efektif dalam membentuk perilaku yang diharapkan. Oleh karena itu, seringkali dalam memberikan konsekuensi tidak selaras dengan tujuan awalnya, dan dapat menyebabkan perkembangan perilaku yang negatif.
Sebagai contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu, seorang anak yang sedang mengalami masa-masa ingin bermain dengan segala sesuatu barang yang ada di dalam rumah, ketika anak tersebut diberikan hukuman dari orang tuanya dengan cara memarahinya karena sudah membongkar semua barang, perilaku tersebut mungkin akan hilang atau bahkan berkurang. Namun, hal tersebut justru akan menghilangkan juga minat dari anak tersebut untuk membongkar atau mengobrak-abrik barang. Kemungkinan anak tersebut akan mengembangkan perilaku untuk membongkar barang yang sengaja, jika anak tersebut tidak diberikan sesuatu barang alihan khusus untuk dirakit. Namun, dalam situasi yang disebutkan di sebelumnya, dampak negatif tersebut dapat dicegah dengan memperhatikan jadwal pemberian konsekuensi yang tepat. Ketika anak berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, tidak selalu orang tua memberikan pujian atau hadiah setiap kali. Sebaliknya, pujian atau hadiah bisa diberikan setelah anak menyelesaikan tugas pertama bahkan hingga kesebelas kalinya.
Penggunaan punishment tak selalu melibatkan hal-hal yang kurang menyenangkan, seperti hukuman tambahan. Dalam menjalankan punishment secara bijaksana, tepat, dan tidak berlebihan, merupakan cara untuk meminimalisir dampak negatif dari punishment. Jika terpaksa menggunakan punishment sebagai metode pendidikan, lebih baik memberikan peringatan secara verbal, dengan memberikan motivasi untuk berperilaku lebih baik (Sabartiningsih et al., 2018).
KESIMPULAN
Proses pembelajaran melalui konsekuensi dapat menjadi efektif dan memberikan dampak positif jika metodenya disesuaikan dengan kondisi anak. Namun, juga perlu diingat bahwa pemberian konsekuensi tidak selamanya berhasil sepenuhnya dalam mendidik anak. Oleh karena itu, orang tua sangat perlu belajar untuk bagaimana caranya memanusiakan manusia. Sebagai manusia, kita dapat belajar tidak hanya karena konsekuensi yang diberikan oleh orang lain. Manusia mampu belajar karena kemauan internal dan adanya tujuan dalam hidup. Mulai sekarang, saatnya mengajarkan anak untuk berpikir kritis dan belajar mengatur diri secara mandiri, sehingga mereka melaksanakan tugas atau kegiatan untuk menemukan makna di balik setiap tugas yang mereka lakukan.
REFERENSI
Arifin, M. (2009). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara.