Setiap natal, kisah tentang kelahiran bayi Yesus yang dikunjungi oleh tiga orang majus menjadi cerita yang seragam dilantunkan di gereja di seluruh dunia.
Namun apakah orang majus itu nyata? Siapakah mereka, dimana mereka sekarang?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memenuhi benak saya sampai suatu ketika calon suami saya (saat ini sudah menjadi suami) mengajak saya mengunjungi Basilica St. Eustorgio, sebuah gereja tua yang terletak di Piazza Sant'Eustorgio No.1, Milan.
Saya masih ingat, Januari 2009, hari itu awan mendung menggelayut, warna langit kelabu cenderung menyedihkan. Saya yang kala itu tengah mengunjungi Milan sebagai turis menjadi gundah, sebab cuaca kurang mendukung. Calon suami saya paham betul tidaklah nyaman berjalan-jalan di hari yang mendung. Namun, ia mencoba menghibur saya dengan mengatakan : daripada gundah gulana karena cuaca kurang menggembirakan, mendingan kita jalan-jalan ke St. Eustorgio. Saya oke-oke saja, meskipun dalam hati bertanya-tanya memangnya ada apa di sana, nama gerejanya juga tampaknya kurang begitu "beken".
Sambil berpayung kami berjalan kadang meloncat kecil menghindari genangan air. Kami membeli tiket kereta bawah tanah metropolitana sampai ke pusat kota Milan di Piazza Duomo
Bersamaan dengan hentinya metropolitana, saya lihat orang-orang menghambur keluar dalam ritmik pacu jalan kaki yang sulit saya tandingi. Mereka terbiasa berjalan cepat. Keluar dari koridor bawah tanah, saya lihat orang orang mengembangkan payung, warna-warni alat pelindung tubuh dari percik air hujan itu menjadi dekorasi indah menghiasi pandangan mata sepanjang trotoar.
Hujan bulan januari di Milan itu kejam sekali, suhu menukik sampai 3°C, calon suami saya berkata : untung saja suhu tidak turun sampai 0°C, karena pada suhu tersebut air hujan bisa berubah menjadi salju. "Oh" dalam hati, "sayang sekali, saya justru ingin melihat salju".
Meskipun dingin menggigit, orang Milan lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan pribadi. Terima kasih kepada pemerintah kota Milan bersama perusahaan daerah dan swasta yang bekerja sama membangun transportasi dalam kota serta juga kepada warga Milan yang rela menyisihkan 40% penghasilannya sebagai pagu pajak sehingga transportasi publiknya sangat memadai, nyaman, efektif dan efisien.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan dengan trem. Tak lama, suami saya memencet bel untuk memberi tanda bahwa kami akan berhenti di perhentian yang akan datang. Trem tidak berhenti di sembarang tempat, ada semacam stanplat yang menandai dimana trem bisa berhenti.
Tiba di stanplat kami melompat saja, jalan sedikit kemudian oh, sebuah gereja berwarna terracotta dengan menara di belakangnya, tua namun indah. Calon suami saya kemudian menunjuk kepada menara gereja : "Kamu lihat itu di atas menara, ada semacam arah mata angin dengan hiasan bintang besar". "Ya ya, aku bisa melihatnya, " sahutku.
Oke, mari masuk ke dalam katanya sambil membuka pintu utama gereja.