Lihat ke Halaman Asli

Random

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Semburat oranye keabuan syamsu ke-16 di cakrawala bentala. Ia tak kunjung menyapa betari durga yang telah berdiri di tubir. Bubrakah? Atau....  hambar?

--------

Hujan kesekian setelah malam menyita pertemuan kita. Tak ada perjanjian. Aku ke sana, atau kau ke sini. Dan petir merapal: 'Saat bulan ke-3 muncul, renungkanlah perihal juntrungan. Saat Deneb Algiedi berkonstelasi penuh, itulah titik balik dari semua sasis.'

--------

Lantam menghujam sanubarimu. Repihan berbekas. Karena verbal! Jemu melihat tedeng aling-alingmu. Bolehkah setelah kau musnah, dalam epitaph mu ku tulis miang jelantang?! Akan ku gunakan dawat terbaik yang pernah ada agar tak lekas pudar dan tahan korosi.

Hei, miang jelantang! Jangan sampai kau membuat Betari Durga mengkal! Kau tak ingin tulahnya mengenaimu, kan?

Dan meski kau telah mendorongnya ke palung, kau lupa bahwa ia rama-rama.

--------

Dan di sebuah lembah yang dikelilingi perbukitan karst, sejauh mata memandang, sawah mengabut. Gadis itu menikmati tubuhnya diguyur hujan. Rambut legam sepunggungnya sudah terasa berat jika angin lembah mengajaknya menari. Meski petir bersahutan di segala penjuru tak membuatnya ia masuk rumah.

Tapi.. lihatlah lebih dekat. Hujan telah menyamarkan air matanya yang tumpah ruah. Petir telah menyamarkan suara sesenggukannya yang makin menjadi.

"Ramanda, apa beginikah caranya menikmati hidup?"

--------




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline