Ketika saya masih kecil, makanan pluntir adalah makanan yang paling ingin saya makan tetapi dilarang keras untuk saya makan oleh emak. Padahal setiap hari seember besar pluntir terproduksi dari pawon emak yang tradisional itu (masih menggunakan tungku dan kayu untuk masak). Pasalnya pluntir adalah jajanan terlaris yang dijual emak. Kami biasanya menjajakannya dari rumah ke rumah dan di setiap ada keramaian di desa (seperti saat ada orang sunatan, nikahan atau saat ada peringatan hari-hari tertentu di desa). Bentuknya yang unik yaitu adonan tepung yang dibuat lonjong memanjang kemudian diplintir membuat saya jadi rajin memelintir setiap hari namun sangat jarang bisa mencicipi hasil akhirnya. Kadang saya mencurinya saat emak lengah atau saat wajah saya terlihat antara capek dan memelas maka emak akan menyisihkan potongan-potongan super kecilnya untuk saya. Saya tidak menyalahkan emak, saya sadar betul bahwa perekonomian kami waktu itu amat sangat memprihatinkan. Sedang lima kepala kecil perlu makan dan sekolah di setiap harinya. Keahlian saya memelintir saya pertahankan hingga sampai saat saya menjadi ketua kelas di kelas 2 SD hingga kelas 6 SD. Saat itu, saya bukannya praktek membuat pluntir di sekolah namun memelintir daun telinga kawan yang nakal. Entah berapa telinga kawan-kawan saya yang telah saya pelintir. Itulah bukti kesuksesan saya dalam hal memelintir. Saat saya duduk di SMP dan SMA saya hampir melupakan memelintir telinga orang dan juga pluntir. Karena pekerjaan emak saya menjadi lebih berat lagi, mencari dan mengusung kayu jati untuk dijual. Mungkin itulah sebabnya tangan saya tumbuh kekar dan pinggang kiri saya kapalen. [caption id="attachment_182203" align="aligncenter" width="300" caption="play dough"]
[/caption] Terakhir kegiatan memelintir ini terpaksa saya lakukan kembali, nun jauh di negara orang. Ini sehubungan dengan pekerjaan saya sebagai babu all in one (masak, ngurus rumah, jaga anak, belanja, jaga nenek, ngajarin PR dan sebagainya) di negaranya om Jacky Chan. Sontak saya terkenang kembali (memori membuat pluntir dan memelintir) saat disodori dengan beberapa kotak isi tepung lembek yang bernama keren "play dough". Maka dimulailah kegiatan plintir-memelintir itu dan memoripluntiryangtakbolehdimakan itu seperti tergelar nyata dihadapan saya. Sedemikian "sesuatu"-nya memelintir dan si objek (tepung ataupun play dough) dipelintir ini mungkin seperti halnya yang dirasakan oleh Pipiet Senja (PS). Sehingga dalam dua postingan di Kompasiana beliau menuliskan kata (dipelintir) tersebut. Berikut adalah cuplikannya: "Agar tidak menjadi "bablas angine" kesalahpahaman yang mungkin saja (ndilalah!) malah dipelintir pihak tertentu..." "Akhirnya, demikianlah yang terjadi, ditambah kesalahpahaman (yakin demikian!) dan berita yang dipelintir; bahwa si teroris berkedok penulis kelas teri ini, telah melecehkan BMI Hong Kong, dlsbnya." Kalau kegiatan memelintir dalam pluntir adalah kata kerja aktif yang nyata, lalu saya kebingungan mencari padanan kata atau arti dari "dipelintir" yang PS maksud. Bukan karena kegiatan memelintir (kata/kalimat) yang tidak nyata namun lebih kepada bahwa kegiatan memelintir (kata/kalimat/postingannya PS) itu tidak ada. Lalu kenapa kata ini ditulis di dua postingan? "Dipelintir" yang bagaimana menurut beliau, siapa yang memelintir tulisannya? (Perlu diketahui bahwa tulisan yang dijadikan dokumen di grup BMI Menolak Tulisan Pipiet Senja adalah copy dari postingan yang belum diedit oleh PS dan tidak diedit oleh kawan saya). PS adalah guru bagi sebagian besar penulis wannabe TKW Hong Kong (TKW-HK). Geliat kepenulisan yang ditangkap oleh beliau dan atau dikembangkan oleh beliau untuk menyuarakan hati TKW-HK yang kemudian juga merambah hingga negara lain seperti Malaysia, Taiwan, Macau, Singapura (menurut pengakuan beliau disini), ini menjadikan beliau berada di garda terdepan perkembangan kepenulisan di HK (note: penulis wannabe lainnya ada pula yang belajar menulis secara otodidak dan browsing internet). Masalahnya mungkin di sini: expectation kami terhadap PS itu kelewat tinggi, karena beliau termasuk dalam jajaran guru menulis bagi BMI HK. Beliau juga yang mengajarkan sebagian besar dari kami tentang bagaimana kita harus memasukkan pesan moral dalam setiap tulisan. Hal ini disampaikannya di workshop menulis bersama PS yang digawangi oleh DD (apa beliau lupa?). Sedang PS sendiri mungkin tidak menyadari akan expectation kami atau mungkin lupa bahwa saat menulis atau penulis itu dituntut untuk mempunyai rasa tanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya (ini juga beliau yang mengajarkannya, apa beliau juga lupa?) Kesleo dalam menulis itu wajar yang tidak wajar adalah tidak mau sadar/tidak mengakui ke-kesleo-an-nya dan menggunakan beberapa apologi untuk membela diri dan bahkan menambahinya dengan mengatakan orang telah memelintir tulisannya. Oh tidaakk..!! Tentang aib BMI, kita semua tahu dan tak ada yang bisa memungkiri itu, mau menulisnya silakan saja tapi ingat satu hal bahwa hal tersebut hanya dilakukan oleh sebagian BMI saja sedang jumlah total BMI HK sekitar 154.000 orang. Maka tak selayaknya pula menggeneralisasi semua BMI. BMI yang mengumbar aib itu jelas salah, dan sebagai orang yang tahu di mana letak salah dan benarnya, tak seharusnya pula menjadikan aib itu sebagai berita yang sudah pasti akan menimbulkan cap buruk bagi semua. Bukan bermaksud untuk menutupi namun lebih kepada meminimaliskan mudarat, meminimaliskan pemikiran jelek terhadap TKW HK. Dan ya benar, bahwa tentunya menulis itu harus berimbang. Orang enggak hanya menulis baik-baik saja tapi boleh juga menulis sisi buruk. Namun hendaknya (yang mungkin ini adalah harapan kita terhadap PS) bahwa saat menulis itu tak hanya mendiskripsikan apa yang terlihat dan terdengar atau diperdengarkan orang lain namun juga menggali info lain terkait hal itu, jadi semisal ada yg menanyakan keabsahan berita tersebut penulis bisa langsung memberikan bukti-bukti. Dan terlebih harus ada benang merah yang bisa diambil, juga saran atau apa agar tulisan tentang aib itu berimbang, tak hanya memojokkan, menyalahkan kemudian mempublikasikan di khalayak ramai. Dan yang tak kalah penting adalah angle dari tulisan tersebut. Juga foto ilustrasi yang harus di-blurr-kan. Ini selain untuk menjaga privacy seseorang tadi, juga termasuk dalam kode etik kepenulisan (kendati bukan jurnalis, namun sebagai jurnalisme warga setidaknya mengetahui hal ini). Tanpa kita menulis aib itu, TKW HK itu sudah dinilai buruk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Lalu bagaimana pula jadinya kalau orang dalam, orang yang mengaku mengetahui betul per-TKW-an HK kemudian menuliskan hal yang buruk itu tadi? Sudah pasti masyarakat akan menelan mentah-mentah, enggak pakek dikunyah! Memang setiap penulis tulisannya mempunyai ciri atau spesifikasi tersendiri. Tapi ini bukan harga mati sebuah apologi. Terlebih PS adalah penulis berbau harum, tidak pernah mendekati lendir apalagi selangkangan. Dan ini juga yang beliau ajarkan (apa beliau lupa?). Masih terngiang di telinga saya saat beliau mengucapkan seperti ini: "Buat apa nulis lendir-lendir dan selangkangan? Kayak kurang bahan tulisan aja, kurang kerjaan." Seperti halnya kerja keras PS untuk menyuarakan hati, menunjukkan sisi positif TKW-HK kepada orang banyak, dan tentunya semua mengapresiasinya. Kalaupun ada sebuah grup (yang kebetulan saya ditunjuk sebagai salah satu adminnya) adalah bukan atas dasar ingin menolak semua tulisan PS namun hanya beberapa yang kebetulan nyangkut di Kompasiana dan menjadikan kami tidak nyaman. Berikut adalah cuplikan dari tujuan grup tersebut:
Kami bukan membuat grup anti PS, bukan pula menolak semua tulisan PS. Kami tak seextrim itu. Kami sadar betul bahwa grup itu sifatnya hanya sementara. Sedang tulisan lain apalagi buku-buku PS kami tetap memberikan apresiasi dan salut setinggi-tingginya terhadap beliau. Kamijuga tak melupakan buku "Yth. Presiden RI dan Surat Berdarah untuk Presiden". Bahwa akan tidak adil sekali kalau kami kemudian menolak semua tulisan PS. Sepertinya kami tidak tahu terimakasih atau buta nilai seni ya? Bagi saya pribadi, saya tidak marah kepada PS sama sekali, saya hanya kecewa. Teramat kecewa. Kendati saya tak sempat bersosialisasi secara langsung dengan beliau namun saya tahu betul niat baik beliau untuk membantu TKW-HK menyuarakan hatinya. Dan kecewa saya ketika melihat seseorang yang saya sejajarkan pada urutan guru yang telah memberikan wejangan sesempurna itu kemudian lupa akan semua wejangannya. Dan apakah kami tak berhak menasehati guru yang lupa itu? Dan apakah kami hanya akan membiarkan seorang guru yang kencing berdiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H