Lihat ke Halaman Asli

Ridzkiya KarimatusSholeha

Universitas Airlangga

Lemari Jamang, Krisis Minat dan Eksistensi

Diperbarui: 16 Juni 2022   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Kemajuan bangsa, tidak hanya dibuktikan melalui perkembangan ekonomi, dan megahnya pembangunan gedung-gedung tinggi, tetapi adanya pengembangan budaya dan pariwisata dapat dijadikan umpan trobosan dalam menggerakkan pembangunan di Indonesia. Namun, pada kenyataannya kekentalan budaya dan kearifan lokal tidak menjamin warisan budaya turun temuran tetap eksis seiring berkembangnya zaman. Apalagi, warisan yang berupa karya seni sering kali dikesampingan, sedangkan moderenisasi dan teknologi dijunjung tinggi secara berkelanjutan.

Seperti halnya yang terjadi pada aset budaya Banyuwangi berupa Lemari Jamang, sebagai salah satu identitas kebanggaan Suku Osing, Kemiren, yang lambat laun hanya berdiri di desanya sendiri. Motif ukiran, seperti Godhong Suruh, Gajah Uling, Semanggian, Ukel Pakis, dan Kembang Kangkung yang harusnya dianggap unik malah di nilai klasik dan membosankan dibandingkan dengan lemari moderen yang lebih mewah dan sesuai tren masa kini. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh lagi, masih jarang orang mengenal fungsi Lemari Jamang yang tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang, tetapi juga sebagai brankas penyimpanan benda-

benda antik mulai dari cingkir kuno, bokor, kinangan sampai toples kuno berisi kain batik motif lawas yang dilipat melingkar dan ditata secara estetik, terkesan lebih menarik daripada hanya dilipat selayaknya pakaian dalam lemari pada umumnya.

Gambar 1. Pak Agus (Kanan), Seniman Lemari Jamang, Desa Kemiren. Dokpri

" Sebagian besar, Lemari Jamang hanya dimiliki oleh orang-orang Kemiren saja. Setiap rumah yang memiliki Lemari Jamang, dianggap sebagai rumah yang istimewa. "

Begitu yang diungkap Pak Agus (28/5), seniman Lemari Jamang asal Desa Kemiren yang memiliki warisan bakat mengukir dari ayah, dan kakek buyutnya. Pernyataan dari pria usia 42 tahun itu, membuka seberapa besar eksistensi Lemari Jamang yang hanya dibanggakan oleh masyarakat Kemiren saja, sekaligus menunjukkan sedikitnya minat masyarakat desa lain untuk memiliki lemari bergaya antik ini.

"Ada uang, ada barang. Tidak dibuat dari kayu asal-asal, dan diukir dengan cara yang masih manual." sambung Pak Agus.

Tidak heran apabila Lemari Jamang memiliki harga jual tinggi, sebab kualitas kayu yang digunakan dan ukiran yang didesain secara manual masih dipertahankan demi melatih dan mengembangkan keterampilan tangan, serta anggapan turun temurun mengenai ukiran yang dibuat oleh tangan sendiri memiliki nilai seni yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil karya mesin. 

Namun, bagian yang cukup menjadi perhatian adalah kualitas seni yang dimiliki Lemari Jamang tidak diimbangi dengan tingginya minat generasi muda untuk mewarisi bakat leluhur "mengukir", sebagai keterampilan yang bisa mereka tekuni, ataupun sebagai cara untuk mengenal lebih jauh lagi tentang seni dan budaya mereka sendiri.

Pengenalan lebih dalam mengenai warisan budaya daerah, tentunya menjadi PR bagi orang tua, masyarakat, dan pemerintah agar karya seni berharga ini tidak hilang ditelan arus globalisasi. Pembekalan keterampilan mengukir melalui edukasi, pelatihan, pewarisan bakat, dan perkumpulan pemuda cinta budaya dapat dijadikan upaya untuk menghidupkan kembali eksistesi Lemari Jamang agar tidak hanya terkenal di Kemiren saja, tetapi seluruh wilayah di  Banyuwangi, minimal berkontribusi untuk melestarikan dan mengenalkan kepada generasi berikutnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline