Pernahkah kalian menerka-nerka sejauh mana waktu yang tersisa untuk berdiri di atas kaki sendiri? Seolah turut serta menyampaikan pertanyaan retoris tersebut, Stepward Erdwin dalam teorinya menyampaikan, tidak ada yang tau berapa lama lagi waktu yang tersisa dalam hidup seorang manusia, entah esok, lusa, bahkan hari ini, tak akan ada yang tahu bertahan berapa lama lagi kita di muka bumi ini.
Waktu yang bisa dengan ajaibnya menghanyutkan kita melalui hal-hal tidak terduga atau bahkan membuat kita melakukan semua hal di luar rencana tanpa sungkan. Seolah hal tersebut memang tujuan kita, seolah kita selalu dan akan selalu memiliki kesempatan lagi. Padahal nyatanya, kesempatan di tangan kita tidak akan pernah sedikitpun datang dua kali. Tak ayal di beberapa momentum, waktu bisa mengubah sesuatu menjadi sedemikian hebat dan luar biasa, namun di sisi lain, waktu bisa selalu menjemput ruang untuk mengubah sesuatu menjadi hancur, busuk, dan tidak berguna.
Persis seperti apa yang dilukiskan oleh Salvador Dali tentang waktu. Pelukis asal spanyol tersebut menyajikan waktu dengan cara yang berbeda. Lukisan The Persistence of Memory dilukis oleh Salvador Dali pada tahun 1931 ketika ia masih berusia 28 tahun. Lukisan ini, sekarang berada di Museum of Modern Art (MoMA) di Amerika. Pihak museum tersebut tidak pernah membeli lukisan Salvador Dali ini, melainkan ada seseorang yang mendonasikan lukisan The Persistence of Memory ini kepada MoMA.
Dengan mengusung tema waktu yang begitu apik, Dali Salvador kabarnya banyak terinspirasi oleh teori Freudian, Sigmund Freud, dan teori hukum relativitas milik Albert Einstein, sehingga unsur abstrak melekat di dalam gaya melukisnya. Hal tersebut bisa kita lihat pada simbol-simbol yang tertera dalam lukisan The Persistence of Memory, dari mulai jam dinding, meja, bukit, semut, hingga anjing laut yang tertidur pulas. Dalam upaya menilik simbol-simbol tersebut, saya mencoba membentrutkannya dengan teori semiotik Ferdinand de Saussure yang mengemukakan bahwa semiotika umumnya digunakan sebagai alat mendefinisikan kategori dari tanda. Hal tersebut hanya bisa merepresentasikan sesuatu apabila si pembaca tanda memiliki pengalaman atas representasinya.
Memasuki pemaknaan lukisan The Persistence of Memory, sebagian besar orang di bumi yang penuh manusia ini, tentu tahu betul atau setidaknya pernah merasakan, bagaimana 'representasi waktu' yang dimaksud, tetapi itu tampaknya tidak mudah untuk meguhkan langkah. Salah satu potret yang begitu terlihat jelas adalah potret jam terbengkalai dan tidak berfungsi lagi, kemudian relevansi jam dinding tersebut dengan lingkungan sekitar.
Beberapa jam dinding dapat mengindikasikan kesempatan yang selalu terjadi. Tanpa kita sadari, waktu yang kita anggap berakhir, tak jarang 'kembali awal', namun beberapa dari kita sering kali mengulangi siklus yang sama, membiarkan waktu berjalan begitu saja. Jelas, potret jam dinding tersebut menunjukkan sesuatu yang sia-sia. Bisa kita bayangkan sudah berapa lama waktu berlalu, sehingga beberapa jam dinding tergeletak hingga hilang fungsi, jarumnya pun sudah tidak lagi berputar! Masih dalam menggali konteks jam dinding, selain kehilangan fungsinya, terdapat juga jam dinding yang menyerupai selimut. Menyelimuti anjing laut yang tertidur pulas. Hal tersebut menandakan ada waktu yang digunakan cukup lama untuk terlelap.
Selain menyoroti makna dari jam dinding yang terbengkalai, lukisan The Persistence of Memory mengambil tema secara garis besar latar tempat gurun pasir. Menarik perspektif lain, gurun pasir yang terlukis tersebut terdiri atas beberapa bukit. Bukit yang berada sebagai latar lukisan merupakan sebuah bukit yang berada di Cape Creus, Catalonia, sebuah tempat di mana Salvador Dali dilahirkan. Tepatnya pada kota Figueres, Catalonia, Spanyol. Proses kreatif tersebut menjadi titik awal pemaknaan-pemaknaan selanjutnya hadir.
Berdasarkan pemaknaan yang tertangkap oleh indra, gurun pasir terkenal dengan tempat yang gersang, membatasi beberapa aktivitas untuk dilakukan yang membutuhkan air. Seperti kita ketahui bahwa kurang lebih dari 80% tubuh manusia mengandung air. Bisa dibayangkan bagaimana makhluk yang sebagian besar komponen pembentuknya adalah air, harus beraktivitas di tempat yang sangat minim air. Kondisi gurun pasir jelas sangat bertentangan dengan hakikat bagaimana manusia bisa hidup. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh seseorang di gurun pasir. Waktu yang terbuanglah yang menjadikan kondisi tersebut terbentuk.
Ketika waktu dinyatakan habis, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh manusia, tepat sebagaimana gurun pasir menjadi tempat tinggal makhluk bernama manusia. Tentu saja, mengulang kembali waktu bukanlah sebuah solusi --betapa mustahilnya. Hakikat waktu sebagai lorong perjalanan, kembali ditegaskan oleh gambar semut yang merayap.
Terlihat semut mengerubungi sesuatu yang sudah sekian lama tergeletak. Saya sendiri memaknainya sebagai potensi yang terbengkalai. Mengingat manusia memiliki potensi yang sejatinya melekat pada dirinya sendiri, semua orang berpotensi untuk menjadi 'pintar'. Kepintaran yang saya maksud merupakan hal baik yang dapat menjelma rasa manis apabila diasah, sementara jika tidak? Semut-semutlah yang akan membawa itu semua.
Dengan manusia berjalan tanpa penopang hidup di suatu gurun yang sangat panas, cepat atau lambat, waktu akan memakan sisa hidup manusia tersebut. (Descharnes, Robert : 2010 ). Masih dalam perspektif yang sama, suatu gagasan yang saya rasa dapat mewakili makna sisa hidup manusia adalah ketika merela tidak dapat memanfaatkan dengan baik potensi yang dimiliki. Sungguh akan sangat disayangkan. Percayalah, makanan manis saja jika dibiarkan di atas meja, rasa manisnya perlahan akan hilang dikerubungi semut, bagaimana meruginya jika sesuatu yang sudah Tuhan berikan, kita pendam dalam waktu menahun atau bahkan kita tak kunjung menyadarinya.