Lihat ke Halaman Asli

Bukan 3 Mas Ketir

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidup ini indah, begitulah kira-kira kata yang bisa saya ucapkan mengenai kondisi saya bersama kedua rekan yang sama-sama sebagai penyandang disabilitas. Anda ingin tahu kenapa?

Belakangan tersiar kabar penolakan sebuah sitkom yang berjudul "3 Mas Ketir" yang mengisahkan 3 orang yang "menyandang disabilitas" dengan berlaku konyol demi tertawaan orang-orang yang suka menertawai kekurangan orang lain.

Apa yang digambarkan dalam sinetron tersebut sangat jauh dari dunia nyata penyandang disabilitas seperti yang sudah diceritakan pula oleh Yusnita Febri. Jauh pula dari kehidupan saya sehari-hari yang selalu berdampingan dengan Ibu Ariani (seorang tuna netra) dan Pak Pardiono (seorang Tuna rungu).

Saya sering kali mendampingi Ibu Ariani selaku Ketua Umum Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia dalam berbagai kesempatan baik acara-acara formal maupun non-formal. Saya yang mengalami lumpuh kedua kaki dan harus berjalan dengan kursi roda menjadi "mata" bagi Ibu Ariani. Ibu Ariani mendorong saya dan saya hanya tinggal mengarahkan menuju jalan yang harus dilalui. Kemana pun saya dan Ibu Ariani pergi, ia akan merasa nyaman dengan mendorong kursi roda saya. Bukankah itu sebuah harmoni? Seorang yang tidak punya penglihatan membantu seorang yang harus berjalan dengan kursi roda, dan yang berkursi roda membantu seorang yang tuna netra. Kejadian seperti itu tidak hanya saya alami dengan Ibu Ariani saja, melainkan dengan beberapa teman tuna netra lainnya dalam berbagai kesempatan.

Kejadian-kejadian yang saya alami tersebut berbanding terbalik dengan sitkom "3 Mas Ketir" yang selalu membiarkan kawan tuna netranya nabrak-nabrak, nyemplung kolam, dll. Haruskah seperti itu penggambaran seseorang dengan kedisabilitasannya?

Sedangkan Pak Pardijono yang seorang tuna rungu ialah sopir yang selalu membawa saya dan Ibu Ariani pergi kemana pun. Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang sopir, ia kerap kali tidak mendengar suara klakson dari kendaraan lain. Bahkan, ketika ia lupa mematikan lampu sign pun ia tidak mendengar suara klak-kliknya sehingga harus saya yang mengingatkan untuk mematikannya. Dalam kondisi seperti itu, saya memerankan diri sebagai "telinga" bagi Pak Pardijono. Tangan saya siap kapan pun memberi aba-aba jika suatu hal terjadi. Pernah suatu kesempatan selesai menghadiri pertemuan di gedung UN Menara Thamrin, seorang kawan berniat menumpang dengan kami. Ia kaget ketika diberi tahu sang sopir ialah seorang tuna rungu. Ia terkagum-kagum karena 3 orang penyandang disabilitas bisa sampai di gedung UN (PBB) dengan memanfaatkan kedisabilitasan masing-masing.

Kondisi kedisabilitasan yang berbeda menjadikan satu sama lain saling membutuhkan dan selanjutnya saling mengisi kekurangan masing-masing.

Kebiasaan saya berdampingan dengan teman-teman yang menyandang disabilitas dengan jenis berbeda menjadikan saya lebih dapat memahami perbedaan tersebut. Satu sama lain bisa saling melengkapi untuk menjadi yang terbaik dalm hidup ini.

Soo, "3 Mas Ketir" merupakan ide nyeleneh senyelenh-nyelenehnya terlebih ide tersebut menjiplak pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline