Lihat ke Halaman Asli

Wheelchair Tenis Indonesia Kehilangan Sang "Babeh"

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_162192" align="alignleft" width="300" caption="Gambar terkini saat memberikan pengarahan kepada atlet-atlet wanita HWPCI"][/caption]Setelah selesai makan malam pada hari Senin, 07/06, Babeh, demikian teman-teman atlet tenis kursi roda memanggil Pak Charles Rampen, segera beranjak tidur setelah sebelumnya ia meminta dibangunkan pada pukul 22. Menjelang pukul 22 ia dibangunkan oleh anggota keluarganya namun, jasadnya sudah terbujur kaku.
Kabar kepergian Babeh segera menyebar ke teman-teman yang selama ini menjadi anak didiknya. Sebuah kabar yang sangat membuat saya terkejut karena tidak mendengar kabar sakitnya beliau. Terakhir saya sempat bertemu dengannya pada saat pertandingan eksibisi atlet-atlet wanita yang diorganisir oleh Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia, 15 Mei silam.
Perjalanan Panjang Babeh
Pada tahun 1994 Babeh atau biasa juga dipanggil Pak Charlie didaulat oleh ITF dan juga Pelti untuk menjadi pelatih tenis kursi roda Indonesia. Dari sanalah ia mulai mencintai dunia Penyandang disabilitas (pengganti istilah penyandang cacat). Untuk lebih fokus dalam melatih, sampai-sampai ia relakan dirinya berhari-hari menggunakan kursi roda di dalam dan luar rumahnya. Ia ingin dapat merasakan benar bagaimana seseorang beraktivitas dengan kursi roda. Akhirnya, ia pun melatih anak-anak didiknya menggunakan kursi roda.
Pada tahun 1999, Babeh sempat beberapa lamanya bermukim di Malaysia untuk melatih atlet-atlet di sana atas permintaan pemerintah Malaysia yang pada saat itu masih sering menimba ilmu kepada Indonesia.
Babeh merupakan pelatih yang telah berhasil menjadikan atlet Indonesia bersaing dengan Thailand di ASEAN Paragames setiap tahunnya. Dan pada Paralympic di Beijing, Idayani yang menjadi siswinya berhasil lolos kualifikasi dan ia dapat merasakan atmosfir pertandingan seluruh atlet dunia.
Babeh juga merupakan atlet yang memiliki dedikasi tinggi terhadap penyandang disabilitas. Ia rela tidak mendapatkan upah sepeser pun selama bertahun-tahun dalam melatih anak-anak didiknya. Bahkan yang lebih menghurukan lagi, ia rela berpisah dengan keluarganya yang bermukim di Amerika hanya karena kecintaannya kepada tenis kursi roda Indonesia. Beliau juga rela melepaskan kesempatan untuk menjadi pelatih di negeri Paman Syam tersebut. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat besar atas kecintaannya kepada tenis kursi roda Indonesia.
Kini cita-cita luhur memajukan tenis kursi roda Indonesia tertanam disetiap pundak atlet binaannya. Siapakah yang akan rela berlaku seperti beliau untuk meneruskan cita-citanya?
Jasad Babeh masih disemayamkan di rumah duka RS. Cikini menunggu putera-puterinya yang akan datang dari Amerika.
Selamat jalan Babeh, jasa-jasamu sungguh berarti untuk kami. Semoga Babeh tenang di alam sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline