Lihat ke Halaman Asli

Mereka Memakan Makanan Sisa

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu angin berhembus sangat kencang; pada siang harinya  hujan telah turun, menjadikan udara malam itu begitu terasa dingin.

Sekalipun berada di dalam ruangan. Namun, udara masih terasa dingin. Saat itu, saya tengah berbincang dengan seorang kawan yang baru pulang mengantar seorang keponakannya bertamasya ke TMII. Hati saya terenyuh ketika ia menceritakan sekumpulan pedagang yang berkeliling di TMII memakan makanan sisa keponakan dan teman-temannya.

Keponakan kawan saya bersekolah di SD Strada kelas satu yang pada hari itu, pihak sekolahnya mengadakan tamasya ke TMII. Pada saat makan siang, mereka diberi makanan berupa ayam goreng buatan sebuah Rumah Makan cepat saji ternama.Sayangnya, makanan tersebut berasa pedas, sehingga, hampir semua anak tidak menghabiskan makanannya. Termasuk keponakan kawan saya tersebut.

Belum juga rombongan pergi meninggalkan tempat tersebut. Beberapa orang menghampiri onggokan kantong plastik sampah yang isinya dus-dus makanan bekas anak-anak. Teman saya mengatakan, “Satu per satu dus makanan tersebut diambil isinya lalu dituangkan ke sebuah tempat yang mereka bawa.” Setelah selesai, orang-orang itu kembali ke tempatnya lalu memakan makanan tersebut bersama kawan-kawannya yang lain. Katanya lagi, mereka makan dengan lahapnya seakan tengah kelaparan. Padahal, bagi sebagian orang mungkin, makanan itu menjijikan. Tetapi, tidak buat mereka.

Kawan saya menangis menyaksikan pemandangan tersebut. Ia teringat di rumahnya selalu membuang-buang makanan yang tidak habis dimakan. Sementara, di luar sana masih banyak orang yang lebih membutuhkan.

Peristiwa itu merupakan gambaran kehidupan nyata bangsa ini. Tidak sedikit orang yang rela memakan makanan bekas hanya sekedar untuk menghemat uang atau bahkan mereka sama sekali tidak mempunyai uang untuk membeli makanan. Saya pernah melihat sebuah warta di televisi, yang menayangkan seorang nenek dan anak-anak kecil memungut beras di sebuah pasar yang berjatuhan dari karung. Bulir demi bulir mereka kumpulkan sehingga, dalam sehari mereka bisa mendapatkan satu sampai tiga liter beras yang bercampur pasir. Bukankah hal itu tidak lazim? Namun, demi mencukupi kebutuhan hidup, mereka rela melakukannya.

Coba kita tengok di hotel-hotel, restoran-restoran, produsen-produsen katering, berkarung makanan sisa teronggok dalam setiap harinya, siap diangkut ke “Bantar Gebang.” Makanan tersebut adalah bekas mereka yangberkecukupan, mereka yang sudah kenyang dengan makanan-makanan lezat. Sementara di pinggiran kota, banyak dari mereka bermandi peluh dari pagi hingga sore bahkan malam mencari nafkah yang hasilnya hanya cukup untuk beli makan sehari saja. Menunya pun tidak memenuhi unsur empat sehat lima sempurna. Ironis memang. Namun, itulah kenyataan.

Dari semua makanan itu ikut pula terbuang tenaga petani yang berbulan-bulan merawat padinya, terbuang pula perjuangan mendapatkan pupuk murah agar padi mereka tumbuh subur, bersamanya pula terbuang harapan naiknya harga gabah untuk memakmurkan kehidupan mereka.

Di dalam islam telah diajarkan bagaimana etika dalam menyantap makanan. Makanan dua orang hendaknya cukup untuk dimakan tiga orang, makanan dua orang cukup untuk tiga orang, demikian seterusnya. Bahkan di dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah disebutkan makanan dua orang hendaknya mencukupi untuk empat orang. Hikmahnya, dengan begitu diharapkan tidak ada makanan yang tersisa dan dibuang.

Dalam konteks yang berbeda, mungkin hal seperti itu diajarkan pula di dalam agama yang lain. Saya yakin setiap umat beragama memahami hal tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline