KUTATAP wajah suami baruku yang sedang tertidur pulas—mungkin untuk selamanya—di hadapanku setelah beberapa saat yang lalu ia meminum jamu kuat yang telah kumasukan racun serangga ke dalamnya.
Sebenarnya perlakuan suami baruku malam ini sangatlah ramah padaku, mengakhiri hidupnya mungkin bukan balasan setimpal yang mestinya ia dapatkan. Ya, mungkin.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, suami baruku itu sempat menanyakan beberapa hal, namun sayangnya tak satu pun dari pertanyaannya yang kujawab, "Bagaimana perasaanmu hari ini, Dek?" tanyanya sambil membetulkan posisi duduk di pinggiran kasur, di sampingku. Ia memanggilku dengan "Dek", sebutan untuk adik kecil yang tersayang dalam kultur budaya Jawa. Sementara aku memanggilnya dengan sebutan "Mas", itu sebutan sopan untuk lelaki yang lebih tua, aku memanggilnya begitu karena memang aku menghargainya; bukan karena aku mencintainya.
"Apa yang kau rasa, Dek?" tanyanya lagi.
Mulutku diam, sementara hatiku tidak. Sejujurnya, Mas, aku berharap hari ini tak pernah ada, pernikahan kita tak pernah ada, dan juga kamu, kamu pun harusnya memang tak pernah ada. Setelah semalaman aku menangis, dan paginya aku harus pasrah terduduk di sebelahmu untuk menerima pinangan darimu yang sebenarnya tak pernah kumau.
Cukup lama aku diam, lalu suamiku bertanya lagi, "Bahagiakah kamu, Dek?" suaranya pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas.
Lagi-lagi mulutku diam, aku menjawabnya dalam hati; dalam kebisuan. Aku sama sekali tidak bahagia, Mas. Walaupun mungkin dengan begini aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku sekaligus membebaskan mereka dari jerat hutang orang tuamu. Tapi aku tetap tidak merasa bahagia.
Sepertinya suamiku memang bukan tipe orang yang mudah menyerah. Setelah berkali-kali kumengacuhkan diri, ia masih saja berusaha mengajakku bicara, "Kenapa diam terus, Dek? Apakah kau menyesal?" ditatapnya aku dalam keremangan kamar, khas kamar pengantin baru. Aku tak sanggup menatapnya, kegelapan dan kebencian menutupi pandanganku darinya.
"Tentu saja aku menyesal, Mas!" tak kuasa lagi kutahan mulutku untuk bersuara. "Asal kau tahu, Mas, selain aku, masih ada satu orang lagi yang tak pernah menginginkan adanya hari ini," sesaat aku pun diam.
"Siapa, Dek?"