Lihat ke Halaman Asli

Penderitaan di Tanah Merdeka

Diperbarui: 12 Mei 2016   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tanah ini, tempat kita bersorak “MERDEKA”, kini hanya tinggal tanda Tanya besar. “MERDEKA”? 71 tahun kehidupan bangsa ini justru berjalan dengan tragis, dramatis, dan penuh dengan penderitaan. Negara Indonesia tanpa nilai keindonesian dan bangsa yang hampa kemanusiaan. Anomali

Ini karena pemikiran kita terlalu sempit sehingga memandang kemerdekaan sebagai suatu kondisi tanpa penjajah . Akhirnya, sebagian orang merasa bahwa penjajah telah habis di muka bumi Indonesia dan perjuangan bangsa ini telah selesai. Sebagiannya lagi termasuk penulis merasa bahwa kita masih berada dalam tekanan kejiwaan manusia – manusia biadab. Lalu, Sampai kapan pertentangan ini berakhir ? haruskah menunggu nyawa dicabut anak negeri sendiri sehingga kita menyadari bahwa penjajahan tersebut masih tampak ? Drama ini harus segera diakhiri dan menyatakan perang atas jiwa – jiwa yang binal.

Kita tahu bersama bahwa negeri ini berhasil melenyapkan komunis dan penjajah dengan segala keterbatasannya. Tapi satu hal yang perlu kita sadari bahwa sampai saat ini kita belum mampu mengusir sifat – sifat komunis dan penjajah dari dalam diri anak – anak negeri. Akibatnya, kejahatan kemanusiaan santer terdengar mewarnai perjalanan bangsa ini. Tewasnya YY adalah salah satu pil pahit di antara banyaknya pil yang kita telah telan di negara ini. Kasus tersebut seharusnya tidak lagi menjadi “klakson” melainkan “tamparan keras” buat pribadi, keluarga dan negara ini bahwa perjuangan menegakkan kemanusiaan belum berakhir.

Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur ? saatnya menyeret bangsa ini ke rel yang benar yakni pancasila dan menggaungkan nilai – nilai ketuhanan yang menciptakan kedamaian, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Lalu, bagaimana kita menyikapi kejahatan kemanusiaan ? Krisis sesungguhnya bukanlah kirisis ekonomi melainkan krisis moralitas yang berpotensi melahirkan serigala bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, bersama negara, masing – masing kita punya peran penting yakni bagaimana menjaga dan merawat bangsa ini agar memiliki pribadi yang bermoral dan beretika sejalan dengan ideologi pancasila.

Hal – hal sederhana bisa kita lakukan mulai dari lingkungan keluarga. Misalnya menghidupkan majelis spiritual sebagai pencerahan bagi anak cucu kita tentang bagaimana memuliakan dan memanusiakan manusia, menghargai hak hidup orang lain, menghargai orang tua, menghargai guru. Keluarga harus mampu menghancurkan dinding pemisah antara anak dan orang tua sehingga tercipta suasana yang harmonis dalam keluarga. Dengan begitu, perilaku anak dapat kita pantau.

Peran keluarga merupakan pondasi awal untuk membentuk karakter anak. Apa yang kita lakukan menjadi cerminan anak kita di masa depan. Sehingga, perlu bagi orang tua memperlihatkan pola perilaku yang berketuhanan dan berkebudayaan. Kita berharap, peran keluarga lebih optimal agar kasus YY tidak terulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline