Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat resmi dilaksanakan mulai hari ini di Jawa dan Bali. Pelaksanaan PPKM Darurat ini sebagai akibat adanya lonjakan kasus covid-19 setelah lebaran tahun ini. Tingkat keterisian rumah sakit yang tinggi, bahkan banyak di antaranya sudah penuh memaksa pemerintah harus menarik 'rem' lebih kuat dengan pembatasan lebih ketat.
Ada perubahan kebijakan pada PPKM kali ini. Jika sebelumnya tes GeNose ditetapkan menjadi salah satu syarat perjalanan, kali ini GeNose dicoret dari daftar tersebut. Sementara itu, untuk tes usap antigen masih diakui sebagai syarat perjalanan.
Sebelum alat tes buatan Universitas Gadjah Mada ini dicoret, telah beredar kabar yang menyebutkan bahwa sebaiknya GeNose tidak lagi digunakan. Sejumlah pakar beranggapan bahwa tingkat akurasi GeNose terbilang rendah, bahkan ada yang menyebut jika penggunaan GeNose menjadi dalang lonjakan kasus covid ini.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riyono meragukan efektivitas penggunaan GeNose sebagai alat screening covid-19. Dia beranggapan hasil GeNose belum teruji.
"Kalau menggunakan GeNose itu berbahaya juga sebenarnya karena tingkat akurasinya diragukan. Kalau tidak tahu penumpang itu benar-benar bebas dari virus atau tidak," kata Pandu kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/6/2021).
Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito enggan berkomentar lebih jauh mengenai tidak masuknya GeNose sebagai syarat perjalanan. Dia meminta masyarakat bersabar menunggu informasi selanjutnya.
"Terkait revisi kebijakan pelaku perjalanan mohon menunggu rilis resminya. Pada prinsipnya perubahan kebijakan yang ada dilakukan berdasarkan hasil monev (monitoring dan evaluasi) di lapangan, (apakah GeNose akan digunakan atau tidak) sedang dalam pembahasan," kata Wiku saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/7/2021) siang.
Seandainya kekurangakuratan GeNose menjadi salah satu penyebab lonjakan kasus, bisakah kita menyalahkan alat tersebut?
Jika kita mengingat jauh ke belakang, saat awal covid-19 masuk Indonesia, kita masih mengenal yang namanya Surat Keterangan Sehat dari dokter. Surat ini menjadi salah satu syarat mengikuti sebuah acara, salah satunya ketika saya mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tahun lalu.
Selain Surat Keterangan Sehat, adapula rapid test antibodi. Harganya jauh lebih mahal dari biaya pembuatan surat sehat, tetapi tingkat akurasinya dinilai jauh lebih baik pada saat itu.