Lihat ke Halaman Asli

Ridwan Lanya

mahasiswa

Cintaku di pondok pesantren

Diperbarui: 4 Januari 2025   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto penulis (Sumber: Ilham Maulana) 

Ilham Maulana , Mahasiswa prodi pendidikan bahasa indonesia , Universitas Madura

-----------------------------

pengalaman hidup menjadi santri sangatlah tidak mudah. Menjadi santri memiliki cerita dan kesan tersendiri dalam hidupku yang pernah tinggal di pondok pesantren. Pengalaman ini tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku. Perjalanan menjadi santri tentu memberikan warna yang berbeda ada yang indah, ada pula yang pahit. Namun, sepahit-pahitnya mondok, rasanya tetap nikmat bikin candu.

Semenjak lulus dari Madrasah Ibtida'iyah (MI), aku sangat ingin mondok. Saudara-saudaraku, terutama kakakku, semuanya mondok, jadi aku juga ingin merasakan kehidupan di pesantren. Namun, aku tidak ingin berada di satu pondok dengan saudara-saudaraku. Aku meminta izin kepada orang tuaku untuk memilih pondok pesantren yang berbeda dan mengamati di beberapa pondok.

Alhamdulillah, orang tuaku mengizinkan. Setelah mengamati, aku akhirnya memilih Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir yang terletak di Desa Blumbungan, Dusun Sumber Batu. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya sekitar satu jam perjalanan.

Hari keberangkatan pun tiba. Aku diantar oleh keluargaku. Pada awalnya, aku merasa senang dan semangat. Namun, ketika saatnya keluarga pulang, perasaan sedih datang menyelimuti. Aku ingin menangis, tetapi mencoba menahan diri. Beruntung, beberapa mbak pengurus di sana meyakinkanku hingga akhirnya aku dengan berat hati mengizinkan keluargaku pulang, dengan syarat mereka harus datang sambang keesokan harinya.

Awalnya, aku tidak merasakan. Meski tekadku untuk mondok sudah kuat, tetap saja rindu rumah dan orang tua tak bisa dihindari. Namun, hari demi hari aku jalani di pondok pesantren. Lambat laun, aku mulai merasa nyaman. Di sana, aku bertemu banyak teman baru yang membantuku melupakan rasa rindu akan rumah dikampung halaman.

Salah satu momen yang tidak pernah kulupakan adalah suasana sebelum subuh. Para pengurus pondok selalu berpencar ke setiap blok kamar santri untuk membangunkan kami agar bersiap salat subuh. Jam menunjukkan pukul 03.36 ketika adzan subuh berkumandang. Kali itu, Amir, salah satu santri yang dikenal sangat semangat dalam bidang keagamaan dan pengabdian, mengumandangkan adzan dengan suara syahdu. Suara Amir menggema, berpadu dengan irama adzan dari musholla, menciptakan suasana yang sangat khas pondok pesantren.

Kehidupan di pondok sangat padat. Aku harus bangun pukul tiga pagi untuk salat tahajud, dilanjut salat subuh, mengantri mandi, dan bersiap untuk sekolah. Setelah sekolah, aku istirahat sebentar, makan, bersih-bersih, lalu bersiap untuk ngaji sore. Meski penuh aturan, aku tetap menikmatinya. Aku belajar, sekolah, ngaji, makan, dan tidur semua terasa sederhana namun penuh makna.

Aku tinggal di Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir selama tiga tahun. Ketika masuk SMA, aku melanjutkan pendidikan di MA Al-Islamiyah I. Banyak pengalaman dan kesan yang aku alami selama mondok. Bagiku, pondok pesantren memberikan pelajaran yang sangat berharga, mengajarkan hidup mandiri, jauh dari orang tua, keluarga, dan saudara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline